Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi dan Institusional
Abstract
A wide variety of indicators suggest that humans are destroying the
earth at a rapid rate. Forests, air, water, human health, and endangered species are all in trouble. Overall, humans are creating economic growth by depreciating the capital in natural resources that allows for that growth. We argue that the lens of organizational behaviorr yields insights not otherwise visible to explain this behavior. We provide a multilevel analysis of the destructiveness of taken-for-granted belief and behavior. We consider (1) how human perception of environmental problems is affected by cognitive biases; (2) how individuals are influenced in these biases by the organizations of which they area part; and (3) how institutions persist that guide our awareness of our connections to the environment.
A wide variety of indicators suggest that humans are destroying the
earth at a rapid rate. Forests, air, water, human health, and endangered species are all in trouble. Overall, humans are creating economic growth by depreciating the capital in natural resources that allows for that growth. We argue that the lens of organizational behaviorr yields insights not otherwise visible to explain this behavior. We provide a multilevel analysis of the destructiveness of taken-for-granted belief and behavior. We consider (1) how human perception of environmental problems is affected by cognitive biases; (2) how individuals are influenced in these biases by the organizations of which they area part; and (3) how institutions persist that guide our awareness of our connections to the environment.
PendahuluanSejak
abad yang lalu telah terjadi pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran manusia
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Global per kapita pendapatan
telah hampir berlipat-tiga[1], pengharapan hidup rata-rata telah meningkat dengan hampir dua-per-tiga[2],
dan orang secara signifikan lebih terpelajar serta terdidik
dibandingkan pendahulu mereka. Namun demikian, abad yang lalu juga
terjadi berbagai kerusakan lingkungan hidup – bahwa dalam mengejar suatu
peningkatan kualitas hidup, manusia khususnya korporasi, mulai
mengembangkan perilaku yang merusak lingkungan hidup dan mengganggu
keberlanjutan sumberdaya alam dan, oleh karena itu, bertentangan dengan
kepentingan jangka panjang kita.
Populasi manusia secara geometris
berkembang pesat, sementara daratan panen mengalami erosi, hutan
merosot, spesies sedang menghadapi pemunahan, suplai air bersih
berkurang, perikanan menurun dan polusi mengancam kesehatan manusia.[3]
Secara keseluruhan, masyarakat sedang mengejar pertumbuhan ekonomi
dengan mengabaikan kualitas sumberdaya alam yang semakin menurun
sementara pertumbuhan yang dilakukan manusia justru tergantung
kepadanya.
Pertentangan nyata ini telah mendorong
banyak peneliti untuk melakukan penelitian tentang penyebab dan solusi
bagi degradasi lingkungan hidup. Makalah ini menawarkan fokus serupa,
namun demikian juga menerapkan suatu lensa dari perilaku organisasi
untuk menghasilkan penglihatan mendalam terhadap perilaku-perilaku yang
secara nyata tidak kelihatan. Di dalam pandangan penulis, permasalahan
lingkungan hidup bukan semata-mata masalah teknologi atau ekonomi,
tetapi juga masalah tingkah laku dan budaya. Sementara itu teknologi dan
kegiatan ekonomi mungkin saja menjadi penyebab perilaku yang merusak
lingkungan hidup secara langsung. Adalah argumentasi penulis dimana
kepercayaan-kepercayaan individual, norma-norma budaya dan institusi
kemasyarakatan memandu pengembangan tingkah laku yang merusak lingkungan
hidup. Pertanyaan dalam diri penulis, kemudian, harus mempertimbangkan
bagaimana perilaku individual dan sosial membentuk persepsi mereka
terhadap lingkungan hidup dan bagaimana mungkin individu, organisasi,
dan nilai instrumental dapat mengabadikan perilaku yang merusakkan
lingkungan hidup itu.
Penulis mulai dengan satu asumsi
sederhana bahwa manusia, menurut sejarah, telah terlibat dalam perilaku
yang merusak lingkungan hidup dan berada dalam posisi yang bertentangan
dengan kepentingan lingkungan bagi kemampuannya bertahan hidup dalam
jangka panjang. Karena kecenderungan inilah, banyak peluang telah hilang
untuk mengoreksi disfungsionalitas ini.
Ada pendapat bahwa banyak atribut yang
menghilangkan peluang bagi ilmu sosial dan ilmu politik untuk
mempromosikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Penulis tidak
setuju. Bagaimanapun, para ilmu pengetahuan sosial dan politik
memfokuskan pada seberapa jauh persepsi dan pengembangan ilmu
pengetahuan sosial, politik, ekonomi, dan struktur sosial mempengaruhi
proses perilaku yang merusak lingkungan hidup. Perilaku yang merusak
lingkungan hidup ini mencakup perilaku-perilaku yang memfokuskan
kebutuhan yang dengan segera harus dipenuhi dan tidak memperhitungkan
masa depan dan secara bersamaan mengabaikan nilai dari modal lingkungan
hidup dan dampak negatifnya. Berbagai jenis perilaku ini mengantar
penulis pada pemikiran tentang bagaimana tiga tingkat dari batasan
organisasi dapat membatasi kemampuan kita untuk merasakan kerusakan
lingkungan hidup.
Fokus penulis adalah suatu analisa multi-level dari perusakan lingkungan hidup. Pertama,
penulis mempertimbangkan bagaimana individu dipandu di dalam persepsi
tentang permasalahan lingkungan hidup mereka melalui penyimpangan
kognitif. Kedua, penulis mempertimbangkan bagaimana
individu dipengaruhi di dalam persepsi dan penyimpangan ini oleh
organisasi di mana mereka menjadi bagiannya. Akhirnya,
penulis mempertimbangkan institusi-institusi yang tetap berlaku dan
memandu kesadaran masyarakat dalam hubungan serta dampaknya terhadap
lingkungan hidup. Hanya dengan cara mengidentifikasikan pokok masalah
ini kita memahami keberlangsungan dari perilaku yang merusak lingkungan
hidup.
Latar belakang mengapa manusia melakukan perusakan lingkungan hidup adalah sangat luas. Weick[4]
berpendapat, latar belakang yang luas tersebut dapat mendorong orang
untuk menghindari pemberian perhatian pada isu lingkungan hidup. Karena
luasnya, maka sulit bisa memilah-milah penyebab motivasi orang untuk
merusak lingkungan hidup. Penulis melihat tiga lensa yang menyediakan
sudut yang bermanfaat dan memungkinkan perhatian sedemikian rupa,
sehingga lebih banyak sarjana dapat menemukan lebih banyak cara untuk
membuat analisis.
Analisis multi-level penulis
memfokuskan pada perilaku organisasi, satu wilayah dari penelitian
akademis yang mungkin saja masih jarang menjadi inti diskusi tentang isu
perusakan lingkungan hidup ini. Ketidakhadirannya dalam diskusi-diskusi
itu, bagaimanapun, bukan berarti tidak diketahui atau tidak
dipertimbangkan. Gladwin[5]
menaruh perhatian terhadap kontribusi yang hilang ini dengan cara
meminta suatu aplikasi dari teori organisasi bagi penelitian tentang
manajemen lingkungan hidup dari korporasi. Dia berargumentasi bahwa
“teori sosiologi menyinggung kepada organisasi yang memegang janji
terbesar untuk meningkatkan pemahaman manusia tentang bagaimana “greening sociology” bekerja.[6] Dan berikutnya, Stem dan Barley[7]
menantang bidang perilaku organisasi untuk menghasilkan lebih banyak
pekerjaan berhubungan dengan isu yang terkait dengan relevansi sosial
yang lebih lebar dibanding dengan lingkungan kerja mereka, seperti
lingkungan hidup.
Mereka berargumentasi bahwa kontribusi
akademis kepada beberapa isu tersebut yang paling besar datang dari ahli
ekonomi dan pengacara, tetapi fokus disiplin mereka lebih pada
mekanisme yang memaksa dari kebijakan dan hukum untuk menjelaskan serta
memecahkan permasalahan masyarakat. Mereka mengabaikan konteks
organisasi sistemik dimana mekanisme yang memaksa dari kebijakan dan
hukum itu didasarkan.
Baru-baru ini, lingkungan hidup telah
mulai berkembang sebagai sebuah topik perhatian di dalam manajemen
penelitian. Tetapi, topik tersebut tetap menjadi lingkup perhatian dari
suatu kelompok kepentingan khusus, lebih daripada suatu topik yang
dikenal baik oleh sebagian besar manajemen penelitian. Di dalam lingkup
spesifik ini, sebagian besar dari penelitian saat ini memfokuskan pada
tindakan strategis dari organisasi individual[8]
dan bukan terhadap isu sosial dimana hal itu menarik perhatian para
peneliti perilaku organisasi. Tetapi, penulis percaya bahwa isu
lingkungan hidup ada di antara sebagian besar isu yang penting bagi para
ahli perilaku organisasi untuk dijelaskan, dipahami, dan dikoreksi. Isu
lingkungan hidup terletak pada suatu peristiwa unik dari kedua ilmu,
baik ilmu fisik dan ilmu pengetahuan sosial, melebar pada komponen dari
suatu kelompok yang lebih luas dari disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu
politik, ekonomi, manajemen, engineering, biologi, ilmu kimia, dan ekologi.[9]
Perilaku organisasi menawarkan berbagai lensa untuk memahami isu
kompleks ini. Pada level individu, organisasi, dan institusional, –
perilaku organisasi menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana
persepsi dan penormaan sosial tentang isu lingkungan hidup berlangsung,
serta oleh karena itu, menyoroti sumber mendasar dari perilaku yang
merusak lingkungan hidup.
Dengan menerapkan teori organisasi dan
tingkah laku pada pemahaman penciptaan permasalahan lingkungan hidup,
makalah ini menguji sistem kognitif, budaya, dan institusional dari
individu dan organisasi. Penulis berniat untuk beralih perhatian di luar
pengkajian dari tindakan individual untuk mempertanyakan dengan tepat
sumber mendasar apa sehingga tindakan itu terjadi. Penulis melihat
jalur dari penyelidikan ini sebagai hal yang kritis untuk memahami sifat
dari isu lingkungan hidup tersebut: bagaimana konsepsi dari isu
lingkungan hidup diciptakan dan bagaimana hasil konsepsi itu di dalam
tindakan individual serta organisasi yang mungkin saja bertentangan
dengan kepentingan jangka panjang kita?
Bagian akhir dari makalah ini, penulis
akan menyajikan suatu ikhtisar tentang apa yang penulis lihat sebagai
contoh-contoh kritis dari perilaku yang merusak lingkungan hidup.
Penulis kemudian ingin mempertimbangkan kreasi dan pengabadian perilaku
ini dengan pemahaman mendalam dari penelitian tentang tiga tingkat –
perilaku individual, perilaku organisasi, dan perilaku institusi yang
memandu persepsi mereka terhadap realita perusakan lingkungan hidup.
Perilaku Merusak Lingkungan hidupPenulis
menggolongkan perilaku yang merusak lingkungan hidup ke dalam tiga
kategori: (1) pertumbuhan populasi manusia; (2) konsumsi yang berlebihan
akan sumberdaya alam: hutan, perikanan, sungai, dan seterusnya, dan;
(3) polusi udara, air, dan daratan. Tinjauan singkat apapun terhadap
topik yang luas ini sungguh-sungguh akan sangat selektif dan
merefleksikan opini dari penulis. Tujuan penulis hanya menyediakan
beberapa perspektif kepada perilaku yang merusak lingkungan hidup yang
sedang kita pikirkan ketika kita beralih kepada akar penyebab
individual, organisasional, dan institusional dari perusakan atau
pembinasaan lingkungan hidup.
Pertumbuhan Populasi ManusiaPopulasi
dunia sedang berkembang sekitar 1,5 persen setiap tahun, dan secara
kasar bertambah 90 juta orang di dunia ini setiap tahunnya. Pada tahun
1990, populasi dunia telah berjumlah 5,3 milyar. Pada tahun 2025,
penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8,5 milyar. Pada saat itu
petani akan memerlukan hasil tanaman padi 50 persen lebih banyak
dibandingkan sekarang, dan itu hanya untuk memenuhi permintaan populasi
saja.[10]
Tetapi, pertumbuhan ini tidak seragam di seluruh dunia. Walaupun fakta
dimana sumberdaya alam tidak bisa mendukung suatu populasi besar, namun
lebih dari 90 persen pertumbuhan populasi dunia itu terjadi di
negara-negara berkembang, dimana pertumbuhan rata-rata 2,3 persen.[11] Afrika misalnya, laju pertumbuhan populasinya 3,0 persen per tahun.[12]
Sebagai hasilnya, sebagian besar dari sekitar 20 hingga 25 persen
populasi dunia hidup di dalam “kemiskinan absolut” – didefinisikan dari
pendapatan per kapita kurang dari 370 dollar per tahun – tinggal dalam
negara-negara berkembang.[13]
Konsumsi Yang Berlebihan Atas Sumberdaya AlamKebutuhan
untuk memperluas dukungan materi bagi perkembangan populasi dunia
mengakibatkan masyarakat industri menempatkan permintaan terhadap
lingkungan hidup alam untuk pertumbuhan serta stabilitas mereka yang
berkelanjutan. Pengembangan di seluruh dunia memaksa permintaan yang
signifikan atas pemenuhan dari sumberdaya alam – dengan demikian
mengancam stabilitas dari ekosistem. Untuk mendukung kebutuhan populasi
masa kini, banyak sumber-sumber daya alam yang sedang dieksploitasi
sehingga akan menghalangi manfaatnya bagi generasi masa depan. Sebagai
contoh, populasi dari banyak spesies ikan akan jatuh di bawah ukuran
yang diperlukan untuk meyakinkan kesinambungan hidup mereka. Sementara
itu, dengan mengetahui bahwa populasi ikan sudah semakin berkurang,
orang akan meninggalkan ketergantungan pada ikan dan mencari-cari sumber
lain untuk makanan dan mata pencaharian ekonomi.
Sementara itu, kebutuhan pembangunan
gedung-gedung juga menuntut pemenuhan berbagai bahan material seperti
kayu, semen dan pasir yang diperoleh dari pengerukan sumberdaya alam
yang berlebih, sehingga semakin mempertajam kerusakan lingkungan hidup
alam.
PolusiSelain
perusakan lingkungan hidup diakibatkan oleh pertumbuan populasi penduduk
dan konsumsi yang berlebihan atas sumberdaya alam, masyarakat industri
juga memberikan dampak perusakan lingkungan hidup lebih lanjut, yakni
terhadap ekosistem melalui emisi dari hasil sampingan limbah dari materi
yang digunakan serta dimanipulasi.
Sebagian besar dari hasil polusi dunia adalah dari pemborosan sistem produksi[14],
menghasilkan perusakan sumber-sumber daya alam yang berpengaruh pada
merosotnya jaminan kesehatan manusia dan binatang, serta mahluk hidup
non hewani lainnya, yang sebetulnya adalah populasi yang sedang
dilayani. Di desa di dalam banyak negara berkembang, sebagai contoh,
sedikitnya 170 juta orang kekurangan akses untuk membersihkan air untuk
minuman, masakan, dan cucian.[15]
Penduduk di kota-kota seperti Bangkok, Beijing, Mexico City, dan Sao
Paulo dipaksa untuk tinggal dan hidup di udara yang tidak cocok untuk
bernafas.[16]
Secara ringkas, kita mencari cara untuk
menjelaskan kecenderungan perilaku yang merusak lingkungan hidup melalui
kondisi kelebihan populasi penduduk, konsumsi yang berlebih atas
sumberdaya alam dan pengotoran lingkungan hidup.
Sebuah Perspektif Perilaku Tentang Perilaku Merusak Lingkungan hidupKetika
warga negara, wartawan, dan akademisi menjelaskan penyebab suatu
perilaku (misalnya suatu perilaku yang merusak lingkungan hidup), maka
pada umumnya mereka cenderung mengidentifikasikan satu penyebab yang
spesifik[17]. Penyebab spesifik itu pada umumnya ada pada satu tingkat analis yang juga spesifik (misalnya tingkat organisasi). McGill[18]
berpendapat bahwa individu itu berupaya untuk menjelaskan kejadian
berbasis pada satu bentuk penyebab tunggal, bahkan ketika berbagai
penyebab ganda jelas ada. Penulis berpendapat bahwa kondisi ini
mengakibatkan kegagalan kebijakan ketika pembuat keputusan memfokuskan
hanya pada satu faktor penentu dari perilaku yang merusak lingkungan
hidup. Dalam bagian ini, penulis berpendapat tidak hanya untuk berbagai
penyebab, tetapi juga untuk tingkat persimpangan analisis bagi
pemahaman perilaku yang merusak lingkungan hidup. Penulis mulai dengan
yang paling mikro – kognisi dari pembuat keputusan, kemudian pindah ke
organisasi, dan akhirnya, kepada institusi dimana institusi itu akan
mempengaruhi individu dan organisasi.
Perspektif Level IndividualInti
pada perusakan lingkungan hidup adalah berjuta-juta keputusan yang
dibuat oleh konsumen, para insinyur, agen pembangunan, eksekutif,
pembuat keputusan kebijakan, dan lain-lain. Beberapa perusakan terjadi
oleh karena egoisme. Beberapa pembuat keputusan merusak lingkungan hidup
karena mereka tidak akan ambil pusing dengan generasi masa depan.
Bagaimanapun, penulis percaya bahwa banyak degradasi dapat dilacak
kepada kualitas yang buruk dari keputusan yang dibuat oleh individu
tanpa perhatian pada suatu pengaruh parasitik terhadap lingkungan hidup.
Penulis juga berpendapat bahwa orang sering gagal dalam membuat
berbagai macam keputusan yang sistematis dan dapat diramalkan sehingga
menuju pada perusakan lingkungan hidup. Penyimpangan ini, secara
tipikal, terjadi tanpa kesadaran dari individu. Dalam makalah ini,
penulis menyajikan penelitian tentang keputusan yang terkait dengan
tingkah laku sebagai lensa analisis mikro yang bermanfaat untuk memahami
perilaku secara umum di level individual yang merusak lingkungan hidup.
Penelitian-penelitian tentang keputusan
yang terkait dengan tingkah laku melihat individu ketika mencoba untuk
bertindak secara rasional terombang-ambing di dalam kapasitas mereka
untuk mencapai rasionalitas.[19]
Penelitian tentang keputusan yang terkait dengan tingkah laku
menyebabkan peneliti mampu untuk meramalkan, berdasar purbasangka,
bagaimana orang akan membuat keputusan yang tidak konsisten, tidak
efisien, dan berbasis pada informasi yang secara normatif tidak relevan.
Lebih baru lagi, penelitian jenis ini
telah mencoba menghubungkan penyimpangan keputusan dengan perilaku yang
merusak lingkungan hidup. Sementara itu, banyak penyimpangan apapun
didokumentasikan di dalam penelitian tentang keputusan yang terkait
dengan tingkah laku[20]
dan hal ini akan mempunyai implikasi di dalam daya jangkau lingkungan
hidup. Untuk itu, penulis, secara selektif meninjau penelitian tentang
sejumlah penyimpangan spesifik yang dikaitkan pada perusakan lingkungan
hidup. Bagian ini meninjau bukti tentang bagaimana penyimpangan berikut
secara negatif mempengaruhi lingkungan hidup : (1) pengabaian berlebih
tentang masa depan; (2) egosentrisme; (3) ilusi positif; (4) perebutan
kepentingan; dan (5) kesalahan identifikasi isu.
Pengabaian Berlebih Tentang Masa DepanDaly dan Cobb[21]
berpendapat bahwa manusia itu memperlakukan bumi “seolah-olah adalah
suatu likuidasi di dalam bisnis,” dimana masa depan tidak dihargai.
Orang bertumbuh dengan berlebihan, mengkonsumsi secara berlebih, dan
melakukan polusi berlebih. Pelaku yang merusak lingkungan hidup ini
membantah kepercayaan atau anggapan umum bahwa kita harus meninggalkan
bumi dalam suasana baik untuk generasi masa depan.[22]
Mengapa ada perbedaan antara perilaku dan sikap? Penulis berpendapat
perilaku umum kita adalah suatu hasil dari pengabaian yang berlebih
tentang masa depan.
Terdapat satu bidang ekstensif dari
penelitian yang menunjukkan bahwa orang akan menggunakan sebanyak
mungkin sumberdaya alam di dalam perilaku konsumsi mereka.[23]
Orang secara sembarangan akan menghambur-hamburkan energi secara tidak
efisien, seperti pemakaian listrik secara berlebih, menebang kayu secara
serampangan dan tidak legal, dan sebagainya. Penggunaan energi yang
berlebihan dan tidak efisien tersebut merupakan pengabaian atau sebuah
penyimpangan kognitif di level individual[24], masalah yang berhubungan dengan isu dari dilema dan pengabaian sosial antar generasi[25].
Dilema sosial mengacu pada situasi bahwa adalah rasional untuk setiap
entitas individual untuk menyeberang, – sementara semua pihak bisa
menjadi lebih baik dengan perangkat perilaku yang lebih kooperatif.
Pengabaian intergenerasi berarti bahwa orang mengabaikan masa depan
karena mereka bisa mendapat manfaat saat ini, membuat beban generasi
masa depan. Wade-Benzoni[26]
berpendapat bahwa pengabaian ini terjadi karena kerusakan yang
diciptakan akan sering terjadi di masa datang. Penulis berpendapat bahwa
pengabaian itu terjadi ketika sebuah proses kognitif membenarkan
cara-cara peningkatan perilaku yang merusak lingkungan hidup.
EgosentrismePekerjaan empiris yang substansial menunjukkan orang itu melayani bagi dirinya sendiri, atau egosentris, menimbang sendiri apa yang dianggap adil.[27] Masalahnya adalah bukan pada orang ingin untuk membuat keputusan yang adil, tetapi lebih pada orang-orang mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang keputusan adil yang seperti apa yang akan diambil.[28] Egosentrisme dapat mempunyai pengaruh substansial terhadap perilaku yang merusak lingkungan hidup.
Hubungan antara egosentrisme dengan
perilaku yang merusak lingkungan hidup adalah tidak lagi konsisten dalam
konteks dunia nyata dari isu lingkungan hidup. Di dalam
negosiasi-negosiasi perubahan iklim global saat ini di dalam Kyoto,
negara-negara berkembang melihat masalah-masalah yang sudah ada itu
diciptakan oleh pola konsumsi berlebih dari negara-negara maju. Di lain
pihak, negara-negara maju memandang bahwa masalah tersebut tidak dapat
dipecahkan kecuali jika negara berkembang membatasi ekspansi mereka
untuk mengotori lingkungan hidup dan berhenti membalak hutan-hujan
mereka. Sementara itu kedua pihak melihat semua perilaku tersebut
terkait dengan isu dan alokasi tanggung jawab yang sangat konsisten
dengan penafsiran egosentris yang digambarkan tersebut[29].
Wade-Benzoni, Tenbrunsel, dan Bazerman[30]
melakukan penelitian tentang egosentrisme dalam kaitannya dengan polusi
dari Rhine River, sebuah sungai yang digunakan bersama oleh Swiss,
Perancis, Jerman, Luxembourg, dan Belanda. Lima negara tersebut saling
bergantung, berbagi tanggung jawab untuk pengotoran sungai dan manfaat
dari penggunaan sungai. Bagaimanapun, masalah-masalah polusi dan
ekstraksi adalah jauh dari sederhana, dengan asimetris mendorong ke arah
egosentrisme.
Illusions PositifTerkait dengan egosentrisme, ilusi positif mengacu pada kecenderungan dari sebagian besar orang untuk melihat diri mereka, masa depan mereka, dan dunia dalam suatu kondisi lebih baik dibandingkan kenyataan.[31] Selanjutnya, mereka berargumentasi bahwa sebagian besar perusahaan melihat produk mereka sebagai hal yang membuat manfaat bagi masyarakat, dan penurunan perusakan lingkungan hidup, secara nyata akan didukung.
Kramer[32]
memberikan beberapa bukti langsung untuk sampai pada argumentasi ini.
Di suatu lingkungan hidup komunitas perumahan, beberapa penduduk diminta
untuk menilai diri mereka sendiri tentang sikap dan perilaku mereka
terkait dengan isu lingkungan hidup. Isu mencakup item umum, seperti
kesadaran tentang isu lingkungan hidup, dan item spesifik, seperti
aktivitas pencegahan perusakan lingkungan hidup. Penduduk terpilih
diminta untuk mengkaji pentingnya masing-masing isu. Penduduk terpilih
tersebut ternyata cenderung untuk berargumentasi bahwa mereka lebih
mudah memiliki kesadaran akan lingkungan hidup, dibandingkan melakukan
perilaku pencegahan secara aktual bagi perusakan lingkungan hidup.
Mereka berargumentasi bahwa aktivitas pencegahan perusakan lingkungan
hidup tidak dapat secara efektif mereka lakukan kecuali hanya sebagai
suatu letupan-letupan kontrol sosial informal saja. Pencegahan secara
aktual akan lebih efektif dilakukan oleh para pelaku bisnis atau
pengusaha dengan mengurangi dampak negatif dari produk mereka terhadap
perusakan lingkungan hidup. Penelitian ini, dengan demikian, menemukan
suatu korelasi yang sangat kuat antara bagaimana penduduk menilai diri
mereka terhadap perusakan lingkungan hidup dan pentingnya peran positif
pelaku bisnis dalam mengurangi dampak perusakan lingkungan hidup.
Akhirnya, penelitian ini juga menemukan bukti bahwa penduduk jauh lebih
mungkin untuk menyangkal adanya perusakan lingkungan hidup yang
berlebih, dibandingkan untuk mengakui bahwa mereka harus membantu
pelestarian lingkungan hidup. Hasil ini menyiratkan bahwa sangat mungkin
sebagian besar orang tidak melakukan sesuatu yang lebih untuk menjadi
warga negara yang berorientasi lingkungan hidup, karena mereka melihat
diri mereka sendiri sebagai penyumbang bagi perusakan lingkungan hidup.
Perebutan KepentinganBanyak negosiasi terjadi antara ekonomi dan kepentingan lingkungan hidup. Para negosiator pada umumnya gagal untuk menemukan perdagangan yang saling menguntungkan karena ada asumsi dimana kepentingan mereka secara langsung menentang kepentingan pihak lain.[33] Hal ini diperburuk ketika pihak lain dipandang sebagai musuh, dan hal ini adalah sesuatu yang umum di dalam konteks lingkungan hidup. “Apakah baik untuk pihak lain adalah tidak baik untuk kami” adalah satu asumsi yang menyesatkan di dalam perselisihan lingkungan hidup. Bazerman[34] menambahkan bahwa asumsi tersebut diperkuat oleh anggapan para pihak yang berselisih percaya bahwa bagian dari sumber-sumber daya yang diperdebatkan makin ditetapkan, dan bagian yang diperdebatkan itu dapat fleksibel jika para pihak menemukan cara untuk mengintegrasikan kepentingan mereka.
Perebutan kepentingan menyebabkan para
pihak yang berselisih percaya bahwa mereka tidak dapat memperoleh
keinginannya melalui kerjasama dengan pihak lain. Dengan demikian,
perselisihan dan perebutan kepentingan bagi pemanfaatan sumberdaya alam
menjadi semakin tajam, dan pada akhirnya kepentingan dari sumberdaya
alam itu sendiri tidak pernah diperhatikan kelestariannya. Semakin
pihak-pihak yang memperebutkan kemanfaatannya, maka semakin terabaikan
dan tereksploitasi pula sumberdaya alam. Dengan demikiann, perusakan
lingkungan hidup semakin parah akibat perilaku para pelaku bisnis dan
perusahaan.
Perebutan kepentingan bagi pemanfaatan
sumberdaya alam mungkin saja bersifat kultural. Individu dari beberapa
kultur dapat masuk dalam negosiasi dengan ekspektasi yang lebih
integratif dibandingkan dengan yang lain.[35]
Dengan memberikan dimensi internasional pada banyak perselisihan
lingkungan hidup, isu dari perbedaan kultural yang membungkus perebutan
kepentingan menjadi cair.
Kesalahan Identifikasi IsuSebuah penghalang kognitif lainnya di dalam negosiasi yang menyebabkan perusakan lingkungan hidup yang tidak beralasan adalah isu tentang kesalahan dalam mengidentifikasi isu itu sendiri. Pertukaran penjual-pembeli apapun menuntut bahwa pembeli akan membayar sedikitnya jumlah minimum yang diinginkan oleh penjual. Dalam sebagian besar konteks, menentukan harga dari suatu obyek dilakukan oleh beberapa entitas obyektif seperti suatu pasar ekonomi. Bagaimanapun, di banyak transaksi yang bersifat lingkungan hidup, nilai dari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh harga pasar dari sesuatu itu, tetapi juga ditentukan oleh suatu komponen emosional dan kesucian dari sesuatu tersebut. Ironisnya, isu-isu kesucian itu pada umumnya merupakan isu yang dilihat oleh negosiator sebagai sesuatu yang menghalangi kompromi atau perdagangan.
Bazerman[36],
di lain pihak, berpendapat bahwa adalah berguna untuk membedakan dua
macam isu. Dengan adanya isu kesucian, maka orang tidak akan pernah
berdagang di bawah keadaan realistis apapun. Isu ini sedemikian penting
karena jika orang berdagang sesuatu yang dipandang suci bagi
masyarakat, maka mereka secara moral dilihat sebagai paihak yang patut
dicela. Bazerman berpendapat bahwa ada kategori kedua dari isu yang
diberi label suci tetapi sebenarnya dibuat seolah-olah suci. Kategori
kedua ini yang bisa membuat suatu penghalang bagi terciptanya suatu
perdagangan yang saling menguntungkan.
Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa
banyak perusakan lingkungan hidup adalah hasil dari proses pengambilan
keputusan yang salah oleh konsumen, politikus, dan negosiator yang
terlibat di dalam perselisihan lingkungan hidup.
Perspektif Level Organisasi: Perilaku Merusak Dipengaruhi Oleh Level Individual
Kultur organisasi membentuk kesadaran
individual di dalam organisasi, menyediakan rutinitas yang
merefleksikan persetujuan secara sosial, yang pada gilirannya melahirkan
tindakan yang disengaja.[37]
Kultur organisasi kemudian memandu persepsi dan perilaku dari semua
anggota organisasi sebagaimana kultur organisasi itu dikembangkan di
atas sejarah organisasi serta dibentuk di sekitar peristiwa-peristiwa
kritis serta respon organisasi terhadapnya.[38]
Selanjutnya, Jackal mendefinisikan kultur sebagai “suatu pola dari
asumsi dasar yang dibagi bersama yang digunakan oleh kelompok untuk
belajar bagaimana memecahkan permasalahan tentang adaptasi eksternal dan
integrasi internalnya, sehingga keberadaannya cukup baik untuk dianggap
sah dan, oleh karena itu, diajarkan kepada anggota baru untuk berpikir
dan bertindak dalam hubungan dengan permasalahan yang ada berdasarkan
kultur organisasi tersebut.” Di dalam definisi ini terletak unsur-unsur
dari sosialisasi, sistem penghargaan, pengalaman sejarah, struktur
internal dan interaksi, serta pikiran dan perilaku individu. Dukungan
bagi perilaku perusakan lingkungan hidup dapat ditemukan pada setiap
wilayah ini. Bagian ini akan mengidentifikasikan sumber perilaku
organisasi yang merusak lingkungan hidup pada tiga tingkat: (1) artifak,
(2) nilai yang menyertai, dan (3) keyakinan yang mendasari asumsi.[39]
Setiap level berbeda dalam derajadnya pada fenomena budaya, yakni
berkisar antara sangat nyata, manifestasi dimana seseorang bisa melihat
dan merasakan sepenuhnya, asumsi dasar yang didasari oleh kondisi tidak
sadar dimana membentuk inti sari dari kultur.[40]
A r t i f a kArtifak meliputi struktur dan proses organisasi yang dengan mudah dapat di lihat, seperti strukturnya, hubungan pelaporan dan pembagian tanggung-jawabnya, bahasanya, koneksi eksternalnya dan perbatasan lingkup aktivitas-aktivitasnya serta teknologinya. Artifak ini mendukung perilaku yang telah ditetapkan dan berlaku dari waktu ke waktu serta tetap mengendalikan perilaku dalam cara-cara yang merugikan lingkungan hidup. Sebagai contoh, struktur dari organisasi mendefinisikan batasan-batasannya, aturan-aturan interaksi, dan pembagian tanggung-jawab. Hal itu menentukan pola-pola dari keputusan yang diambil, dengan mana informasi-informasi diteruskan dari satu unit organisasi ke lainnya. Aliran keputusan ini tidak selalu efisien dan cenderung untuk menyimpangkan prioritas organisasi. Seperti halnya, mereka bisa menciptakan gangguan komunikasi yang adalah sering menyebabkan pembangkitan perilaku yang merusak lingkungan hidup.[41]
Struktur organisasi bisa mengabadikan
pikiran dari isu lingkungan hidup sebagai sesuatu di luar dunia dari
perhatian-perhatian dasar bisnis. Sebuah departemen urusan lingkungan
hidup yang terpisah telah dikembangkan di mana sering secara
organisasional diasingkan dari departemen inti. Tujuannya adalah untuk
memastikan bahwa korporasi tetap sesuai dengan hukum sedemikian rupa
sehingga inti dari kegiatan korporasi bisa tetap difokuskan upaya
memaksimalkan laba dan bebas dari interferensi eksternal.[42]
Pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup yang terkait dengan tingkat
keracunan, polusi atau pengurangan penggunaan sumberdaya tidak
dipertimbangkan sebagai suatu hal yang relevan dengan tujuan primer dari
korporasi.
Struktur organisasi bisa memberikan
fasilitas pengambilan-keputusan sub-optimal serupa dengan permasalahan
tentang pengabaian masa depan di dalam pengambilan keputusan individual.
Persaingan kepentingan-kepentingan departemental bisa melindungi
organisasi dari keuntungan-keuntungan ekonomi yang potensial. Sebagai
contoh, korporasi membeli suatu bangunan dengan suatu mata anggaran
tertentu dan mengoperasikannya dengan mata anggaran lainnya. Dengan
demikian korporasi tersebut dapat meminimumkan biaya operasi mereka dan
meraup keuntungan lebih banyak.
Nilai-nilai Yang MenyertaiTingkat kedua dari kultur adalah pada nilai yang menyertai: strategi-staregi, tujuan dan filosofi dari korporasi.[43] Pengertian ini lebih sulit untuk diterjemahkan dibandingkan artifak dan juga merepresentasikan norma-norma yang lebih membumi untuk memandu manajemen perilaku. Didukung oleh institusi akademis, model pemegang saham mempolakan bahwa korporasi itu tidak mempunyai “tanggung jawab sosial” di luar melakukan tindakan pelayanan sebagai suatu agen dari pemegang saham atau pelanggan, membuat mereka berada di dalam peraturan-peraturan permainan yang ditetapkan oleh pemerintah. Lebih lanjut, beberapa institusi akademis berpendapat bahwa upaya untuk mendukung tanggung jawab sosial adalah tipis karena diselubungi usaha untuk memperkuat kendali dari struktur tata kelola dari perusahaan itu sendiri.[44] Model ini mengkekalkan suatu sikap otonomi dari perusahaan, baik secara fisik sosial dari pertimbangan-pertimbangan untuk perlindungan lingkungan hidup atau permintaan dari kepentingan eksternal yang lain.
Kepercayaan ini diabadikan dan
diritualkan di dalam organisasi dengan cara diajarkan kepada anggota
baru melalui proses rekrutmen dan seleksi, sosialisasi, dan penghargaan.
Bagaimana individu dipilih untuk organisasi (pemilihan), bagaimana
mereka diindoktrinasi (sosialisasi) dan insentif apa yang diterapkan
(penghargaan) akan mendukung kepercayaan kultural yang sudah ada tentang
bagaimana anggota dari organisasi akan merasa tidak bertanggung-jawab
terhadap lingkungan hidup. Penghargaan mengambil bentuk formal dan
informal. Kadangkala kedua bentuk penghargaan tersebut menjadi
benar-benar rancu atau berlawanan. Sebagai contoh, banyak perusahaan
telah diharapkan untuk membantu perkembangan kinerja lingkungan hidup
yang ditingkatkan melalui penetapan dari program lingkungan hidup yang
benar-benar dipublikasikan oleh level puncak manajemen. Namun demikian
program ini gagal karena mereka tidak menerapkan struktur penghargaan
dengan baik. Sebagai contoh, seorang manajer instalasi penyulingan
bersenda gurau tentang tanggung jawabnya untuk melindungi lingkungan
hidup, memelihara keselamatan, dan meningkatan produksi. Tetapi, ketika
datang saatnya untuk promosi, mereka “melompati dua hal pertama dan
langsung kepada hal ketiga.” Sebagai hasilnya, sistem penghargaan maupun
kebijakan korporasi tidak memandu program lingkungan hidup yang
dipublikasikan korporatnya.
Keyakinan Yang Mendasari Asumsi-Asumsi Dalam Korporasi Keyakinan yang mendasari asumsi-asumsi ini adalah tingkat kultur yang paling fundamental. Hal itu merepresentasikan kepercayaan tentang tindakan yang sesuai dan berlaku umum serta dirasakan oleh setiap anggota korporasi sebagai hal yang tidak bisa ditawar. Ini adalah tingkat yang paling sulit dari kultur untuk peneliti dapat membongkarnya dan untuk anggota organisasi untuk mendeteksinya. Pada level ini sebagian besar penyimpangan organisasi banyak terjadi seperti juga penyimpangan individual. Mengkaitkan level ini secara langsung kepada perilaku individual, Schein[45] menggambarkan tingkat kultur fundamental ini sebagai “sesuatu yang membungkus tingkah laku, emosional, dan unsur-unsur kognitif dari fungsi psikologis secara keseluruhan dari anggota kelompok.”
Tingkat kultur fundamental ini sering
memuaskan kebutuhan dasar manusia untuk stabilitas, memperoleh
kepastian, dan keamanan di dalam organisasi. Tingkat kultur ini paling
stabil dan paling kaku dalam menjamin rutinitas budaya sehingga dengan
teguh dipatuhi. Kekakuan dari sekumpulan rutinitas budaya ini bisa
memungkinkan organisasi untuk bereaksi dengan cepat jika ada perubahan
atau penyimpangan terhadap kultur organisasi. Tingkat kultur fundamental
bisa juga beroperasi sebagai sebuah pola berpikir dan tindakan yang
bisa membatasi kemungkinan untuk jenis-jenis baru dari tindakan[46].
Di dalam organisasi korporasi, asumsi dasar tentang tujuan dan tanggung
jawab perusahaan bisa mengabadikan perilaku yang merusak lingkungan
hidup. Asumsi ini meliputi : pikiran bahwa perusahaan, baik secara
sosial dan fisik adalah otonom; gagasan bahwa alasan-laba adalah tujuan
tunggal dari perusahaan; penghilangan dari kekayaan alam melalui sistem
akuntansi pasar; persepsi tentang lingkungan hidup sebagai sebuah
sumberdaya yang tak habis-habisnya dan sebuah tempat yang tak
habis-habisnya untuk membuang limbah; dan keperluan pertumbuhan ekonomi
yang tak berbatas.[47]
Asumsi ini mendukung tindakan yang merugikan bagi stabilitas dari
sistem lingkungan hidup dan sistem sosial di sekitar organisasi.
Lebih lanjut, asumsi dasar tentang tujuan
dan tanggung jawab perusahaan diabadikan di dalam perusahaan oleh
banyak mekanisme dan kekuatan, baik di dalam maupun di luar organisasi.
Bagian ini akan mempertimbangkan empat hal yakni, kebiasaan rutin,
ketakutan dari sesuatu yang tidak diketahui, pembatasan sumberdaya, dan
ancaman terhadap kekuasaan ada.
Rutinitas kebiasaan bisa mengabadikan
perilaku dimana karyawan dapat mengetahui bahwa mereka telah merusak
lingkungan hidup, tetapi mereka tidak dapat bertindak untuk mengoreksi.
Seringkali pengabadian kebiasaan dari seseorang merupakan wujud
keputusan seorang individu untuk tidak mengubah suatu kebiasaan yang
telah ada, karena akan mennyebabkan keluarnya biaya ekonomi dan sosial
serta psikologis tertentu yang tidak diharapkan. Dengan demikian,
rutinitas yang ditetapkan ini dapat secara umum dikenal, nyaman, dan
dengan handal dapat diramalkan.[48] Clark[49]
mencatat bahwa pembangunan budaya dan ketergantungan yang berkelanjutan
terhadap artifak serta kepercayaannya mungkin menjadi suatu rintangan
yang handal bagi inovasi organisasional. Rutinitas kebiasaan bisa
mengambil bentuk di dalam rekayasa yang diterima umum atau praktek
manajerial.
Ketakutan terhadap sesuatu yang tidak
diketahui bisa mengendalikan baik inovasi organisasional maupun
ketergantungan yang berkelanjutan terhadap keyakinan yang mendasari
asumsi. Perubahan eksternal dan internal mungkin juga merepotkan untuk
organisasi, terutama sekali ketika hasil atau konsekuensi perubahan
tidak dapat diramalkan. Memang, pada kenyataannya, hasil atau
konsekuensi tidak pernah dapat diramalkan.
Pembatasan sumberdaya bisa membatasi
kemampuan dari suatu organisasi untuk mengatasi biaya dialokasikan bagi
peralatan, dan personil. Hal itu bisa menjadi jalan rintang psikologis
yang bagi tindakan atau respon tertentu kepada permintaan untuk
perubahan. Permintaan jangka pendek dapat menangkal kesempatan apapun
bagi pertimbangan keuntungan jangka panjang, walaupun masih ada harapan
tetapi tetap hanya merupakan potensi. Biaya jangka pendek mendominasi
perhatian yang tidak berorientasi masa depan.
Akhirnya, ancaman kekuasaan dapat menolak
perubahan organisasi. Kultur menetapkan suatu struktur dari kekuasaaan,
yang akan mengacaukan perspektif tentang “buat manfaat siapa sistem
yang sudah ada”. Usaha apapun untuk melakukan restrukturisasi mungkin
akan mengikis struktur kekuasaan dan mengundang kebingungan organisasi,
persaingan antar departemen, atau resistensi organisasional[50].
Pengaturan diri dapat mengambil-alih perhatian untuk tujuan lingkungan
hidup atau ekonomi di dalam pengambilan-keputusan manajerial. Sebagai
contoh, pada saat pengambilan keputusan ekonomi dan lingkungan hidup
bergabung dalam mencari solusi yang menguntungkan satu sama lain, sumber
yang samar dari konflik dapat berkembang di antara fungsi lingkungan
hidup dan fungsi operasi itu sendiri. Proses memecahkan rutinitas yang
sudah ditetapkan di antara kelompok-kelompok yang ada dan pada
gilirannya mengundang persaingan departemental dan berjuang demi
kemampuan untuk bertahan. Sebagai contoh, para manajer yang terkait
dengan lingkungan hidup dapat menolak bergeser ke dalam tanggung jawab
sebagai sebuah ancaman bagi otonomi mereka, tujuan, dan kemampuan
bertahan. Sebaliknya, tanpa satu pandangan yang jelas tentang
perhitungan biaya dan manfaat, personil pabrik dapat menolak tanggung
jawab yang ditambahkan.
Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa
susunan organisasi dan kepercayaan budaya cenderung untuk mengabadikan
perilaku yang merusak lingkungan hidup. Individu di dalam organisasi
akan penulis diskusikan di dalam bagian terakhir dan menggabungkannya
dengan penyimpangan pada level organisasi. Menanggulangi rintangan ini
akan memerlukan perubahan dalam organisasi yang mengintegrasikan
perhatian lingkungan hidup ke keyakinan yang mendasari kepercayaan dari
organisasi, penuangan kembali keyakinan yang mendasari kepercayaan dari
organisasi dalam cara-cara yang saling menguntungkan bagi tujuan
organisasi dan ketahanan dari ekosistem di mana tujuan organisasi itu
bergantung.
Perspektif Level InstitusionalBeralih pada tingkat analisis penulis yang ketiga dan terakhir, penulis mempertimbangkan bagaimana perilaku yang merusak lingkungan hidup dapat diabadikan dengan aturan-aturan, norma-norma, dan kepercayaan di level institusional. Penulis mulai dengan pernyataan dimana organisasi itu ada di dalam satu “sistem terbuka”. Sementara itu, adalah suatu istilah dari literatur organisasional bahwa mengakui sistem terbuka itu berarti tidak konsisten dengan teori ekonomi. Kepentingan dan perilaku kelompok adalah sering menjadi kekuatan yang primer, baik di dalam perilaku ekonomi maupun politis.
Aktivitas-aktivitas organisasi secara
signifikan dipengaruhi oleh lingkungan hidup eksternal, baik melalui
batasan teknis seperti bahan baku, tenaga kerja, dan energi, maupun
lebih penting lagi, melalui pengaruh sosial, aturan-aturan, hukum,
standar industri, praktek terbaik, dan kebijaksanaan konvensional -- apa
yang secara kolektif disebut sebagai “institusi”.[51]
Institusi menyajikan batasan-batasan kultural dan kontekstual yang
mengubah perspektif individual serta organisasi terhadap isu sosial.
Mereka memberikan arti dan nilai kolektif kepada kejadian serta
aktivitas-aktivitas tertentu, di antaranya status lingkungan hidup.[52]
Untuk meneliti pengaruh mereka terhadap
perusakan lingkungan hidup, bagian ini akan merujuk implikasi lingkungan
hidup dari institusi pada tiga kategori nominal: (1) regulatif, (2)
normatif, dan (3) kognitif[53].
Aspek regulatif (atau hukum) dari institusi didasarkan pada pemaksaan
atau sanksi hukum kepada organisasi untuk memberikan alasan bagi
pertimbangan kelayakan yang diambil. Aspek regulatif, paling umum
mengambil bentuk sebagai aturan-aturan, tetapi dapat saja meliputi
protes, penuntutan perkara, dan lobi politis. Aspek normatif (atau
sosial) dari institusi adalah secara moral atau secara etis dipoles, dan
organisasi akan mematuhinya berdasar pada kewajiban sosial. Aspek
normatif ini mengambil/mengambil bentuk sebagai rules-of-thumb,
prosedur operasi standar, standar bersifat jabatan, kurikulum bidang
pendidikan, dan persyaratan keanggotaan serta muncul melalui kesatuan,
institusi pelatihan profesional, dan asosiasi perdagangan. Aspek
kognitif (atau kultural) dari institusi dibangun dari pendukungan
secara sosial dan dasar kebenaran secara konseptual dari legitimasi.
Kepercayaan yang diterima secara umum di mana organisasi akan
mentaatinya tanpa suatu kesadaran, berada di level ini.[54]
Institusi RegulatifWalaupun standar hukum yang mengatur perilaku yang mempengaruhi lingkungan hidup mempunyai hasil positif secara historis[55], namun manfaat dari standar tidak harus menghalangi perhitungan biaya maupun penelusuran permasalahan yang dapat timbul dari satu pendekatan pengaturan kepada permasalahan lingkungan hidup.[56] Beberapa pakar berpendapat bahwa standar yang ada dan penyelenggaraan program mungkin saja merupakan tantangan paling besar yang dihadapi oleh para ahli lingkungan hidup pada saat ini.[57] Tenbrunsel[58] mengusulkan bahwa standar hukum menjadi suatu kekuatan independen, menerima suatu kehidupan milik mereka sendiri, meninggalkan rasionalitas, tanpa inovasi, dan kepentingan bermasyarakat berada di balik. Mereka berpendapat bahwa hasil sub-optimal bisa dihasilkan dari suatu kepatuhan pada standar, serta bahwa sub-optimalitas ini adalah sesuatu yang berhubungan dengan kecenderungan bagi standar untuk mengarahkan perhatian ke arah hukum itu sendiri serta menjauh dari tujuan di balik hukum. Sebagai hasilnya, pembuat keputusan dapat didorong ke arah kegiatan untuk mengevaluasi aneka pilihan sub-optimal yang melekat ke suatu standar, jauh lebih dibandingkan pada aneka pilihan sub-optimal yang melanggar standar.
Tenbrunsel[59]
juga menyarankan suatu penjelasan motivasional untuk dampak dari
“perhatian-perhatian yang salah arah”, yakni bahwa sistem standar bisa
mengubah sistem insentif untuk individu serta mempromosikan perilaku
yang berdasar pada kepentingan pribadi yang tentunya menganggu
kepentingan bermasyarakat. Hasil sub-optimal adalah produk dari tindakan
tak disengaja dan yang disengaja sebagai bagian dari pembuatan
keputusan. Tindakan tak disengaja dapat dihasilkan dari individu yang
sekedar “mengikuti aturan,” kreativitas tidak dihargai”, suatu
rasionalitas dari “menggunakan atau menghilangkan”, atau suatu
mentalitas “tidak ada hukum yang melawan”. Sementara itu, tindakan yang
disengaja meliputi usaha untuk “memukul sistem yang ada.”
Secara keseluruhan, struktur pengaturan
untuk mengontrol polusi adalah terinstitusionalisasi ke dalam suatu
format yang berlawanan di mana, saat ini, banyak pakar yang menganggap
format tersebut telah ketinggalan zaman dan bersifat membatasi kemajuan
lingkungan hidup korporat[60].
Struktur hadiah sering kali salah arah, yang awalnya dimaksudkan untuk
mendorong korporatsi atau pihak-pihak lainnya untuk mengkontrol dirinya
untuk tidak mengeksploitasi lingkungan hidup bagi pemenuhan tujuan
mencapaian keuntungan sebesar-besarnya justru bisa berdampak sebaliknya.
Pajak misalnya, sebagai suatu hadiah bagi korporasi atau pihak-pihak
lainnya untuk merasa mempunyai akses pada lingkungan hidup yang
dimanfaatkan untuk dijaga kelestariannya sebagai “barang pemilikan”
menjadi dorongan bagi perspektif pertukaran. Karena membayar pajak
dengan mahal maka mendorong mereka untuk memanfaatkan sebesar-besarnya.
Sebagai contoh, pajak yang dimaksudkan sebagai suatu insentif untuk tuan
tanah kepada pengembangkan daratan, maka mereka tergerak untuk memanen
sumber-sumber daya daratan justru untuk membayar pajak, atau menjualkan
dan menyewakan daratan untuk membayar pajak, dengan demikian
menghancurkan properti yang secara biologis berharga.[61]
Institusi regulatif yang mempromosikan
perilaku yang merusak lingkungan juga di level internasional. Sebagai
contoh, organisasi non pemerintah yang bergerak dalam masalah-masalah
lingkungan hidup (NGO) benar-benar kritis terhadap implikasi lingkungan
hidup dari Global Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Institusi NormatifBeralih di luar sifat regulasi, penghalang institusional juga terjadi di level normatif di dalam norma-norma kurikulum bidang pendidikan, aturan bisnis, prosedur operasi standar, dan indikator-indikator yang secara ekonomi serta bisnis diterima. Sebagai contoh, kurikulum bidang pendidikan sering mengabadikan kepercayaan di mana pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan hidup adalah satu sama lain tidak cocok. Teori Manajemen saat ini telah dikritik untuk mempromosikan suatu penjelasan yang terkait dengan keperluan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang berorientasi perlindungan lingkungan hidup, persepsi tentang lingkungan hidup alam sebagai suatu sumberdaya yang terbatas, dan keunggulan dari pengembangan teknologi untuk mengontrol sistem lingkungan hidup[62]. Dengan cara sama, banyak pakar menuntut perubahan penjelasan ilmiah dalam pendidikan ekonomi bahwa menurut sejarah ekonomi memang memperlakukan perlindungan lingkungan hidup sebagai satu “eksternalitas”.[63] Polusi dikonseptualisasi sebagai konsekuensi dari suatu ketidak hadiran dari harga untuk sumber-sumber daya lingkungan hidup langka tertentu, seperti membersihkan udara dan air. Melalui perspektif normatif ini, kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup akan selalu terpisah serta berbeda, bahkan berlawanan.[64] Asumsi yang mendasari hal ini adalah bahwa para manajer korporat itu tidak pernah menyadari dan mengakui kepentingan akan perlindungan lingkungan hidup di dalam kepentingan ekonomi korporasi mereka.
Praktek standar bisnis dapat mengabadikan
perilaku disfungsional lingkungan hidup serta menghalangi upaya mencari
respon yang lebih efisien. Pilihan yang melembaga di dalam belanja
pengeluaran korporasi ini dipromosikan oleh satu industri konsultasi
yang tumbuh dengan subur terlepas dari pasar untuk belanja pengendalian
polusi dan layanan pemenuhan tuntutan terhadap peraturan perlindungan
lingkungan hidup untuk meminimalisasi polusi serta pengurangan limbah.
Jika promosi dan perjuangan industri konsultasi ini berhasil maka akan
diyakini bahwa asumsi tentang ketidakcocokan antara kepentingan ekonomi
dan lingkungan hidup itu tidaklah benar.
Institusi Kognitif Akhirnya, institusi di level kognitif membentuk persepsi umum dari perilaku yang dibenarkan dan tidak dipertanyakan lagi.[65]
Terlebih, seperti penyimpangan individual di bagian pertama dan
keyakinan yang mendasari kepercayaan yang diuraikan pada bagian depan,
dapat meresap, kuat, dan tahan terhadap perubahan, serta sering
mempengaruhi individual dan perilaku organisasi tanpa sepengetahuan
mereka. Perilaku yang merusak lingkungan hidup desktruktif didukung oleh
beberapa hal sangat mendasar dari kepercayaan tentang masyarakat modern
dan kapitalisme modern.[66]
Sebagai contoh, masyarakat kapitalistik mempunyai asumsi fundamentalnya
yang terkait dengan pandangan anthroposentris dimana kemajuan tak
terbatas adalah dimungkinkan melalui eksploitasi dari sumberdaya alam
tanpa batas. Dalam pengejaran dari kemajuan itu, organisasi dan individu
dianggap sebagai independen, berada dalam suatu pasar-bebas dimana
ekstraksi sumberdaya dan pengembangan adalah hak pemilik properti yang
berada di luar dari intervensi pemangku kepentingan. Insentif apapun
untuk melindungi lingkungan hidup, secara tradisional, diterima sebagai
intervensi dari luar. Pertumbuhan ekonomi dan materi dibenarkan sebagai
suatu yang tidak saling sesuai dengan perhatian lingkungan hidup.[67]
Konsisten dengan kerangka pengembangan
yang dibuat oleh ahli filsafat dan revolusi industri, institusi kognitif
mendukung pikiran dimana manusia dipertimbangkan terpisah dari
lingkungan hidup dan superior dari lingkungan hidup, sementara dirinya
sendiri dipandang sebagai sosok tanpa daya dan digerakkan oleh
kekuatan-kekuatan eksternal daripada internal.[68]
Tetapi, perhatian untuk perlindungan lingkungan hidup menantang
kerangka ini dan kemampuan dari kapitalisme, di dalam bentuknya yang
sekarang, untuk menyediakan tujuan-tujuan sosial (seperti kesejahteraan,
hak kekayaan, kesenangan, kepuasan, dan seterusnya) untuk jangka
panjang. Namun dalam kenyataannya kapitalis tidak mempertanyakan tujuan
sosial semacam ini, tetapi lebih pada asumsi inti seperti “bagaimana
kita bisa sampai ke sana?” : terkait dengan otonomi sosial dan fisik
perusahaan, motif keuntungan sebagai sebuah bentuk tujuan tunggal dari
perusahaan, dan keperluan dari pertumbuhan ekonomi.[69]
Di dalam melakukan hal itu, maka sebelumnya harus disajikan konsepsi
baru tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan hidup, di mana satu
sama lainnya saling sesuai. Transisi ini memerlukan suatu kerangka acuan
baru untuk berpikir tentang peningkatan lingkungan hidup[70], suatu tahap di luar semua institusi yang secara tradisional diterima.
KesimpulanBerbagai
uraian di atas menyoroti sejumlah cara dimana kita terlibat dalam
perilaku yang secara mental merusak lingkungan hidup, dan hal itu sering
tanpa pengetahuan kita. Spesies kita bertanggungjawab untuk sukses luar
biasa dalam pembangunan tetapi juga bersalah atas tingkat yang berlebih
dalam timbulnya degradasi lingkungan hidup. Beberapa butir ikhtisar
telah menjelaskan peran dari individu, organisasi, dan institusi dalam
membuat degradasi ini. Seringkali individu, organisasi, dan institusi
menciptakan kerusakan lingkungan hidup tanpa menyadari dampaknya. Dalam
makalah ini, penulis telah mencoba untuk memperjelas mekanisme di balik
pengaruh negatif mereka.
Satu asumsi yang disederhanakan dan
sumbang yang telah penulis jelaskan dalam makalah ini adalah tiga
tingkat dari analisa kita telah didiskusikan, yakni perspektif tingkat
individual, organisasional, dan institusional dalam membuat degradasi
lingkungan hidup memperjelas bahwa keputusan individual mempengaruhi
perilaku organisasi; perilaku individual dan organisasi mempengaruhi
berbagai unsur yang dilembagakan, serta pada akhirnya saling
mempengaruhi antara hal-hal tersebut. Koneksi antara tiga tingkat ini
dapat dilihat, secara umum, di dalam struktur di antara tiga tingkat itu
sendiri. Penulis telah mencoba untuk menyoroti betapa penyimpangan
individual, keyakinan yang mendasari kepercayaan dari kultur organisasi,
dan institusi-institusi kognitif di mana masing-masing
merepresentasikan konsep umum dari kepercayaan yang tidak
dipermasalahkan lagi sehingga mengabadikan perilaku tanpa sepengetahuan
aktor. Penulis berharap bahwa penelitian masa depan harus menyelidiki
interkoneksi ini lebih mendalam.
Makalah penulis ini juga dipengaruhi oleh
pemilihan dari teori deskriptif yang penulis lihat memiliki implikasi
yang relevan. Motivasi penulis untuk belajar isu manajemen lingkungan
hidup adalah wujud dari keinginan untuk bermain, sedikitnya dalam peran
yang kecil di dalam mengingatkan kita semua bahwa pencegahan perusakan
lingkungan hidup harus segera diprioritaskan. Tentunya, dengan
mempelajari beberapa penyebab dari perusakan lingkungan hidup tersebut
dapat menjadi bekal bagi perencanaan pencegahan perusakan lingkungan
hidup yang lebih efektif. penulis percaya bahwa membuat perubahan,
secara parsial dicapai dengan cara mengembangkan teori deskriptif dari
perilaku yang secara langsung mendorong ke arah solusi untuk perubahan.
Penulis juga melontarkan isu “mengapa
lingkungan hidup?” Mengapa kita memfokuskan pada aspek lain dari etika
dan tanggung jawab sosial organisasi? Bagian dari jawaban adalah suatu
refleksi dari kepentingan intrinsik dari penulis. Bagaimanapun, bagian
dari jawaban adalah bahwa lingkungan hidup menyediakan suatu konteks
dimana kita melihat perilaku manusia jelas tidak konsisten dengan upaya
memaksimalkan perlindungan lingkungan hidup dibandingkan dengan
pengambilan manfaat yang berlebih atas lingkungan hidup itu sendiri.
D A F T A R P U S T A K A
Abbott, W. F., and Monsen, R. J. (2000).
‘‘On The Measurement Of Corporate Social Responsibility: Self-Reported
Disclosures As A Method Of Measuring Corporate Social Improvement.’’ Academy of Management Journal, vol. 22, pp. 501.
Alexander, J., and Bucholz, R. (2001). ‘‘Corporate Social Responsibility And Stock Market Performance.’’ Academy of Management Journal, vol. 21, pp. 479-486.
Amihud, and Mendelson, H. (2001). ‘‘Inventory Behavior And Market Power : An Empirical Investigation.’’ International Journal of Industrial Organization, vol. 7, no. 2, pp. 269-280.
Aupperle, K. E. (2001). ‘‘The Use Of
Forced Choice Survey Procedures In Assessing Corporate Social
Orientation.’’ In J. E. Post (ed.),(2001). Research in Corporate Social Performance and Policy, vol. 12, pp. 269-280. Greenwich, CT: JAI Press.
Aupperle, K. E., Carroll, A. B., and
Hatfield, J. D. (2005). ‘‘An Empirical Examination of The Relationship
Between Corporate Social Responsibility And Profitability.’’ Academy of Management Journal, vol. 28, pp. 446.
Clark. (2001). The Social Responsibilities of Business: Company and Community:1980-2000. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press.
D.,Owen. (1992) ‘The implications of
current trends in green awareness for the accounting function: An
introductory analysis’, in: D. Owen (ed.), Green Reporting: Accounting
and the Challenge of the Nineties, Chapman & Hall, London.
Daly. (2001). Creating the Corporate Future. New York: John Wiley and Sons.
E. Goldman (2004).‘‘Business Ethics: Profits, Utilities, And Moral Rights. A Sociological Perspectives’’ Sociology and Public Affairs, vol. 9, no. 3, Spring.
Frederick, W., Post, J., and Davis, K. (2002). Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics, 7th ed. New York: McGraw-Hill.
Friedman, Weick (2004). ‘‘A Sociological Doctrine: The Social Responsibility Of Business Is To Increase Its Profits.’’ Sociology Today Magazine, September 13.
Galbraith, and Burger, J. (1993). ‘‘A Paradigm Of Ecological Risk Assessment.’’ Environmental Management, vol. 17, no. 1, pp. 1-5.
Gerwith. (1979). ‘‘Starvation And Human Rights.’’ In K. E. Goodpaster and K. M. Sayre (eds.), Ethics And The Problems Of The 21st Century, pp. 139–159. South Bend, IN: University of Notre Dame Press World Bank, 1992, pp. 47.
Graves, S., and Waddock, S. (1999). ‘‘Institutional Owners And Corporate Social Responsibility.’’ Social Review and Management Journal, vol. 37.
Hoskisson, and Johnson, R. (1992).
‘‘Corporate Restructuring And Strategic Change: The Effect Of
Diversification Strategy And R&D Intensity.’’ Strategic Management Journal, vol. 13, no. 8, pp. 625-634 McGill, 1991.
J. E. Parkinson. (1994) Corporate Power and Responsibility, Oxford University Press, Oxford.
Jackall. (2006).‘‘Efficiency And Social Institutions: Uses And Misuses Of Economic Reasoning In Sociology.’’ Annual Review of Sociology, vol. 12, pp. 233-253.
Kantz. (1999). ‘‘Group Processes Under Conditions Of Organizational Decline.’’Journal of Applied Behavioral Science, vol. 21, pp. 1-17.
Kedia, and Kuntz, E. (1981). ‘‘The Context Of Social Performance An Empirical Study Of Texas Banks.’’ In Research in Corporate Social Performance and Policy. Greenwich, CT: JAI Press.
Kelso, and Adler, M. J. (1998). The Capitalist Manifesto. New York: Random House.
Kramer. (2007). ‘‘Financial And Stock Market Variables As Predictors Of Management Buyouts.’’ Strategic Management Journal, vol. 8, no. 4, pp. 319-327.
Lustig. (2003). ‘‘The Politics Of Shutdowns: Community, Property, Corporatism.’’ Journal of Economic Issues, vol. 21, pp. 123-152.
Lytle. (1981). ‘‘Viewing turnover from
the perspective of those who remain: The relationship of job attitudes
to attributions of the cause of turnovers.’’ Journal of Applied Psychology, vol. 66, pp. 120-123.
M. Heald, (1999). The Social Responsibilities of Business: Company and Community:1900 -1960. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press.
M. R., Moskowitz. (1972) ‘Choosing socially responsible stocks’, Business and Society Review, 1, 71-75.
Meyer, M., and Zucker, L. (1989). Permanently Failing Organizations. Newbury Park, CA: Sage Publications.
Mintzberg. (1999).‘‘Corporate restructuring: Governance and control limits of the internal capital market.’’ Academy of Management Review, vol. 15, no. 3, pp. 459-477.
R. A. G., Monks. (1994) ‘Tomorrow’s corporation’, Corporate Governance: An International Review, 2(3), July, 125-130.
R. S., Larsen, (1993). ‘‘The Challenge Of Change: Building A New Competitive Spirit For The 21st Century.’’ Executive Speeches, vol. 7, no. 3, pp. 19-22.
R., Hay, and Gray, E. (1977). ‘‘Social Responsibilities Of Business Managers.’’ In A. Carroll (ed.), Managing Corporate Social Responsibility, pp. 8-16. Boston: Little, Brown & Company.
Rogers, E. (1983). Diffusion of Innovation. New York: Free Press.
S., Labatt. (1991). ‘‘A Framework Of Assessing Discretionary Corporate Performance Toward The Environment.’’ Environmental Management, vol. 15, no. 2, pp. 163.
Schein., Tarr, S. C., and Juliano, W. J. (1992). ‘‘Reducing Is staff, increasing morale, and achieving results at US West.’’ Journal of Systems Management, vol. 43, no.7, pp. 10-12; 36-37.
Shleifer, Morck, R., A. and Vishny, R. W.
(1988) ‘Management ownership and market valuation: An empirical
analysis’, Journal of Financial Economics, 20, 293-316.
Sturdivant. and Ginter, J. (1977). ‘‘Corporate social responsiveness: Management attitudes and economic performance.’’ California Management Review,vol. 19, no. 3, pp. 30-39.
Tenbrunsel. (1997). ‘‘The Dangers Of Social Responsibility.’’ Harvard Business Review, September–October, pp. 41-50.
Zucker. (1983) ‘‘Early Retirement Or Forced Resignation: Policy Issues For Downsizing Human Resources.’’ Advanced Management Journal, vol. 53, no. 1, pp. 28-32.
END NOTE:
[1] E. Goldman (2004).”Business Ethics: Profits, Utilities, And Moral Rights. A Sociological Perspectives” Sociology and Public Affairs, vol. 9, no. 3, Spring.
[2] Ibid.
[3] Graves, S., and Waddock, S. (1999). “Institutional Owners And Corporate Social Responsibility.” Social Review and Management Journal, vol. 37.
[4] Friedman, Weick (2004). “A Sociological Doctrine: The Social Responsibility Of Business Is To Increase Its Profits.” Sociology Today Magazine, September 13.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Alexander, J., and Bucholz, R. (2001). “Corporate Social Responsibility And Stock Market Performance.” Academy of Management Journal, vol. 21, pp. 479-486.
[8]
Aupperle, K. E. (2001). “The Use Of Forced Choice Survey Procedures In
Assessing Corporate Social Orientation.” In J. E. Post (ed.),(2001). Research in Corporate Social Performance and Policy, vol. 12, pp. 269-280. Greenwich, CT: JAI Press.
[9]
Aupperle, K. E., Carroll, A. B., and Hatfield, J. D. (2005). “An
Empirical Examination of The Relationship Between Corporate Social
Responsibility And Profitability.” Academy of Management Journal, vol. 28, pp. 446.
[10] Amihud, Y., and Mendelson, H. (2001). “Inventory Behavior And Market Power: An Empirical Investigation.” International Journal of Industrial Organization, vol. 7, no. 2, pp. 269-280.
[11] Ibid.
[12]
Abbott, W. F., and Monsen, R. J. (2000). “On The Measurement Of
Corporate Social Responsibility: Self-Reported Disclosures As A Method
Of Measuring Corporate Social Improvement.” Academy of Management Journal, vol. 22, pp. 501.
[13] Ibid.
[14] Frederick, W., Post, J., and Davis, K. (2002). Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics, 7th ed. New York: McGraw-Hill.
[15] Gerwith, A. (1979). “Starvation And Human Rights.” In K. E. Goodpaster and K. M. Sayre (eds.), Ethics And The Problems Of The 21st Century, pp. 139–59. South Bend, IN: University of Notre Dame Press World Bank, 1992, pp. 47.
[16] Hay, R., and Gray, E. (1977). “Social Responsibilities Of Business Managers.” In A. Carroll (ed.), Managing Corporate Social Responsibility, pp. 8-16. Boston: Little, Brown & Company.
[17]
Heald, M. (1999). The Social Responsibilities of Business: Company and
Community: 1900-1960. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press.
[18]
Hoskisson, R., and Johnson, R. (1992). “Corporate Restructuring And
Strategic Change: The Effect Of Diversification Strategy And R&D
Intensity.” StrategicManagement Journal, vol. 13, no. 8, pp. 625-634 McGill, 1991.
[19] Kantz, J. (1999). “Group Processes Under Conditions Of Organizational Decline.”Journal of Applied Behavioral Science, vol. 21, pp. 1-17.
[20] Kelso, L., and Adler, M. J. (1998). The Capitalist Manifesto. New York: Random House.
[21] Kedia, B., and Kuntz, E. (1981). “The Context Of Social Performance An Empirical Study Of Texas Banks.” In Research in Corporate Social Performance and Policy. Greenwich, CT: JAI Press.
[22] Larsen, R. S. (1993). “The Challenge Of Change: Building A New Competitive Spirit For The 21st Century.” Executive Speeches, vol. 7, no. 3, pp. 19-22.
[23] Galbraith, H., and Burger, J. (1993). “A Paradigm Of Ecological Risk Assessment.” Environmental Management, vol. 17, no. 1, pp. 1-5.
[24] Lustig, R. J. (2003). “The Politics Of Shutdowns: Community, Property, Corporatism.” Journal of Economic Issues, vol. 21, pp. 123-152.
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Galbraith, H., and Burger, J. (1993). Op.Cit.
[28] Heald, M. (1999). Op.Cit.
[29] Ibid.
[30] Ibid
[31] Kramer. (2007). “Financial And Stock Market Variables As Predictors Of Management Buyouts.” Strategic Management Journal, vol. 8, no. 4, pp. 319-327.
[32] Ibid.
[33] Meyer, M., and Zucker, L. (1989). Permanently Failing Organizations. Newbury Park, CA: Sage Publications.
[34] Ibid.
[35]
Lytle. (1981). “Viewing turnover from the perspective of those who
remain: The relationship of job attitudes to attributions of the cause
of turnovers.” Journal of Applied Psychology, vol. 66, pp. 120-123.
[36] Ibid.
[37] Jackall. (2006). “Efficiency And Social Institutions: Uses And Misuses Of Economic Reasoning In Sociology.” Annual Review of Sociology, vol. 12, pp. 233-253.
[38] Ibid.
[39] Rogers, E. (1983). Diffusion of Innovation. New York: Free Press.
[40] Ibid.
[41] Jackall. (2006). Op.Cit.
[42]
Hoffman, 1997 Sturdivant, F., and Ginter, J. (1977). “Corporate
social responsiveness: Management attitudes and economic performance.” California Management Review,vol. 19, no. 3, pp. 30-39.
[43] Schein. Op.Cit.
[44] Ibid.
[45] Ibid.
[46] Ibid
[47] Daly. (2001). Creating the Corporate Future. New York: John Wiley and Sons.
[48] Ibid.
[49]
Clark. (2001). The Social Responsibilities of Business: Company and
Community: 1980-2000. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press.
[50] Mintzberg. (1999).”Corporate restructuring: Governance and control limits of the internal capital market.” Academy of Management Review, vol. 15, no. 3, pp. 459-477.
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Labatt, S. (1991). “A Framework Of Assessing Discretionary Corporate Performance Toward The Environment.” Environmental Management, vol. 15, no. 2, pp. 163
[54] Zucker. (1983) “Early Retirement Or Forced Resignation: Policy Issues For Downsizing Human Resources.” Advanced Management Journal, vol. 53, no. 1, pp. 28-32.
[55] Ibid.
[56] Labatt, S. (1991). Op.Cit.
[57] Ibid.
[58] Tenbrunsel. (1997). “The Dangers Of Social Responsibility.” Harvard Business Review, September-October, pp. 41-50.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Ibid.
[62] Parkinson, J. E. (1994) Corporate Power and Responsibility, Oxford University Press, Oxford.
[63]
Owen, D. (1992) ‘The implications of current trends in green awareness
for the accounting function: An introductory analysis’, in: D. Owen
(ed.), Green Reporting: Accounting and the Challenge of the Nineties,
Chapman & Hall, London.
[64] Monks, R. A. G. (1994) ‘Tomorrow’s corporation’, Corporate Governance: An International Review, 2(3), July, 125-130.
[65] Ibid.
[66] Ibid.
[67]
Morck, R., Shleifer, A. and Vishny, R. W. (1988) ‘Management ownership
and market valuation: An empirical analysis’, Journal of Financial
Economics, 20, 293-316.
[68] Moskowitz, M. R. (1972) ‘Choosing socially responsible stocks’, Business and Society Review, 1, 71-75
[69] Ibid.
[70] Ibid.
Sumber:
http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-lingkungan/839-perilaku-merusak-lingkungan-hidup-perspektif-individu-organisasi-dan-institusional.html
0 Response to "Perilaku Merusak Lingkungan Hidup: Perspektif Individu, Organisasi dan Institusional"
Post a Comment