1.
Pendahuluan
Sebagai
mega-urban terbesar di Asia Tenggara, Jakarta tidak dapat melepaskan diri dari
pengaruh globalisasi pada satu sisi dan pengaruh lokalisasi pada sisi lainnya.
Kedua kekuatan itu telah menjadikan Jakarta sebagai tempat terartikulasinya
globalisasi, integrasi nasional, dan juga lokalitas (Somantri, 2007; Nas dan
Pratiwo, 2005; Evers dan Korff, 2002). Simbol-simbol ‘metropolis’ muncul
berdampingan dengan simbol-simbol ‘tradisional’. Dan di bawah ideologi pasar
yang secara signifikan mempengaruhi perkembangan Jakarta sejak 1980-an (Kusno,
1998; Spreitzhofer, 2003), berbagai bentuk inovasi serta adaptasi telah dan
akan terus terjadi dalam bentuk perubahan fungsi ruang (Low, 1990). Dalam
kaitan itu, sejalan dengan teori dualistik kota yang dikemukan oleh Castells
(1983), konstruksi sosio-spasial Jakarta tidak lain merupakan fungsi dari
perubahan persepsi atau penafisran masyarakat terhadap diri dan lingkungannya.
Pengaruh globalisasi yang membuat Jakarta menjadi
daerah kompleks, dimana terdapat heterogenitas dan percampuran dari berbagai
kultur budaya. Hal yang tampak sebagai Ibu Kota Negara adalah persaingan bisnis
yang ketat. Jakarta menjadi sentral segala hal yang berurusan dengan ekonomi.
Sebagai contoh di Jakarta terdapat banyak mall, stasiun TV, bisnis perumahan,
pusat Bursa Efek dan sebagainya.
Hal
tersebut menuntut masyarakat untuk dapat berpikir inovatif dalam berwirausaha.
Sebab persaingan ketat di dunia bisnis Jakarta sangat kompleks dan sulit dicari
celahnya. Salah
satu bentuk inovasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat urban di dunia
ketiga – termasuk Jakarta – adalah kemunculan industri rumah tangga. Seperti
dinyatakan oleh J.H Boeke, kegiatan produksi kecil-kecilan tersebut merupakan
bentuk perekomian khas kota-kota dunia ketiga yang tidak dapat dijelaskan oleh
teori perekonomian barat (Boeke dan Burger, 1973). Mereka muncul secara
‘spontan’ di tengah-tengah kehidupan masyarakat urban dalam bentuk usaha mikro
sehingga membentuk ‘sistim perekonomian bayangan’. Melalui sistim itulah mereka
mengembangkan jaringan bisnis dan melakukan penetrasi pada celah-celah pasar
yang sempit sambil terus berupaya mempertahankan diri dari tekanan para pemilik
modal besar.
2. Metolodogi
Artikel
yang berjudul Geography
of Innovation dan
Klaster Industri: Studi
Kasus Industri Pakan Ternak
di Jakarta Utara itu menggunakan pendekatan
kualitatif dalam penelitian dan menelaahnya dengan tafsiran teoritis terhadap
Industri Pakan Ternak. Artikel
tersebut memandang gagasan inovatif
sebagai sebuah stimulus bagi timbulnya gejala keruangan yang terwujud dalam
bentuk jaringan produksi. Jaringan produksi itu sendiri dipandang sebagai hasil
dari rasionalisasi ekonomi dan sosial pada suatu tempat tertentu. Sedangkan
data obyek penelitiannya diperoleh dari wawancara dan investigasi lapangan.
3. Hasil dan Pembahasan
Industri pakan ternak yang dibahas
dalam artikel tersebut
terdiri dari 2 unit, 1 unit di Kelurahan Sukapura, Kecamatan Cilincing dan 1
unit lainnya di Kelurahan Muara Angke, Kecamatan Penjaringan. Kedua industri tersebut
didirikan
pada tahun yang sama, yaitu tahun 2003. Namun Produk
akhir yang dihasilkan oleh kedua industri tersebut berbeda. Industri di Cilincing
menghasilkan pakan ternak siap pakai dengan kapasitas produksi sebesar 10
ton/hari. Sementara itu, produk akhir industri di Muara Karang adalah pakan
ternak setengah jadi berupa tepung ikan dengan kapasitas produksi 3-4/ton per
hari.
Kedua industri tersebut berlokasi di dekat pantai,
tepatnya di perkampungan nelayan. Lokasinya
berdekatan dengan sumber bahan baku yang berupa limbah ikan laut. Limbah ikan
tersebut diambil baik dari perkampungan nelayan, rumah makan, tempat pelelangan
ikan, maupun pelabuhan. Untuk mengumpulkan bahan baku, pengusaha industri
memanfaatkan tenaga pemulung. Sebagai gambaran, Di Cilincing paling tidak
terdapat 5 (lima) kelompok pemulung limbah yang masing-masing terdiri dari 20
orang, Karena letaknya yang sangat dekat dengan lokasi bahan baku, maka
industri jenis ini dapat melakukan penghematan pada biaya transportasi bahan
baku baik dari segi waktu maupun biaya. Dengan demikian, ditinjau dari
lokasinya, industri pakan ternak ini termasuk industri yang berorientasi pada
bahan baku.
Dalam hal pemasaran, industri pakan
ternak di Cilincing melakukan kerjasama dengan koperasi unggas setempat. Namun
jangkauan pemasarannya masih sangat terbatas pada lingkungan sekitar. Sementara
itu, industri pakan ternak di Muara Angke memiliki jangkauan pasar yang jauh
lebih luas. Produk-produk akhir yang berupa bahan baku tersebut dikemas dengan
menggunakan karung berukuran 10 kg guna dikirim ke Muncar (Banyuwangi) dan
Bogor. Pada umumnya, para konsumen akan berhubungan langsung dengan pihak pabrik
baik melalui telepon ataupun tatap muka. Informasi di lapangan mengindikasikan
bahwa produk industri dari Muara Angke ini cepat sekali terserap oleh pasar.
Hal ini disebabkan oleh dua hal yang saling berkaitan, yaitu tingginya
kebutuhan pasar serta keawetan produk yang sangat singkat yaitu hanya 2 hari.
Tingginya kebutuhan menyebabkan konsumen berusaha untuk cepat mendapatkannya,
sedangkan singkatnya masa keawetan produk mendorong produsen untuk cepat
menjualnya.
Berdasarkan hasil wawancara,
kemunculan industri pakan ternak, baik yang berlokasi di Muara Angke maupun
Cilincing, dilandasi oleh dua gagasan dasar. Gagasan pertama adalah
adanya keinginan untuk memanfaatkan sekaligus memberikan nilai tambah pada
limbah atau sisa ikan laut untuk diolah sebagai pakan ternak. Gagasan yang kedua
adalah adanya keinginan untuk memberdayakan ekonomi lokal, khususnya di
kalangan masyarakat nelayan. Kedua gagasan tampaknya tidak dapat dilepaskan
dari ‘pemandangan sehari-hari’ di perkampungan nelayan yang selalu berhubungan
dengan ikan dan kemiskinan. Dengan demikian, gagasan pendirian industri pakan
ternak tersebut secara jelas memiliki orientasi lokal yang kuat. Keberlanjutan
gagasan seperti itu tidak saja tergantung pada ‘kekuatan’ gagasan itu sendiri,
tetapi juga ditentukan oleh ‘kemantapan’ basis dukungan lokal dalam bentuk
jaringan sosial. Kekuatan gagasan merupakan cermin dari kewirausahaan dan
kemampuan inovasi. Sementara itu, jaringan sosial merepresentasikan organisasi
produksi lokal. Menurut Scott (2004), keduanya merupakan elemen intrinsik yang
akan bekerjasama mewujudkan creative field.
Perwujudan creative field terlihat
pada kuatnya elemen komunitas dan elemen manfaat dalam kegiatan produksi.
Penggunaan bahan mentah hasil aktivitas keseharian masyarakat setempat,
peningkatan nilai tambah lokal, serta penyerapan tenaga kerja lokal; adalah
beberapa ciri yang mengindikasikan betapa kegiatan produksi telah mampu
mengintegrasikan mekanisme sosial dengan mekanisme ekonomi. Integrasi kedua
mekanisme memungkinkan terjadinya aliran informasi antar stakeholder mengenai
peluang bisnis, ketersediaan bahan mentah, dan kebutuhan tenaga kerja. Dengan
demikian, penerapan ‘gaya kewirausahaan’ industri pakan ternak tidak lagi
semata-mata menggambarkan visi individu sang pengusaha, namun lebih
mencerminkan sebuah ‘sistim produksi yang lebih luas yang berbasis padarelasi
sosial’. Dengan kata lain, industri pakan ternak telah berperan sebagai social
agent dalam suatu ruang geografis tertentu yang memungkinkan sumber-sumber
keuntungan dapat dikelola secara kolektif.
Gagasan inovatif yang
melatarbelakangi kemunculan industri pakan ternak di Jakarta utara telah mampu
membentuk jaringan produksi yang didasarkan atas basis sosial yang kuat, namun
untuk mencapai wujud ‘klaster industri’ seperti yang dirumuskan oleh Porter,
jaringan produksi tersebut masih memiliki kelemahan dalam hal permintaan lokal
dan kekuatan intergrasi dengan klaster lainnya. Hal ini diduga kuat terkait
dengan tahap perkembangan industri pakan ternak yang masih berada pada tahap emerging.
Dalam konsep siklus industri, tahapan ini antara lain ditandai oleh tingkat
perolehan hasil yang baik namun belum mencapai critical mass yang ideal.
Rendahnya pencapaian critical mass ini ditandai oleh penguasaan pangsa
pasar yang relatif masih kecil sebagai akibat dari kualitas dan kuantitas input
faktor produksi.
4.
Kesimpulan
1. Gagasan inovatif yang
melatarbelakangi kemunculan industri pakan ternak di Jakarta utara telah mampu
membentuk jaringan produksi yang didasarkan atas basis sosial yang kuat,
2. Wujud ‘klaster industri’ yang terbentuk oleh
jaringan produksi belum didukung oleh tingginya permintaan lokal dan kekuatan
intergrasi dengan klaster lainnya.