PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK


       Tugas Kuliah ku pertama sampai akhir di semester satu cukup membuat pusing kepala, karena tiap minggu dosen mata kuliah PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK memberikan tugas yang sifatnya kontinu.
       Awalnya saya semangat mengerjakannya tetapi di pertengahan semester saya mulai bosan mengerjakannya. tetapi hidup ini perjuangan, dimana ada niat disitu ada jalan, dan begitulah dosen ku memberikan motivasi pada para mahasiswanya. Dan saat ini saya menshare hasil kerjaan saya, kritik, saran, dan tanggapan sangat saya nanti, karena kuliah penuh dengan dunia jurnalistik. ^^

BAB I
INDIVIDU

1.    Individu
             Secara etimologi kata Individu berasal dari bahasa Latin, “Individuum”, yang berarti “Tak Terbagi”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Individu memiliki pengertian organisme yang berdiri sendiri dan secara fisiologi ia bersifat bebas. Sedangkan menurut Dr. A. Lysen Individu adalah sebutan yang dapat untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia sebagai keseluruhan yang tak dapat dibagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas yaitu sebagai manusia perseorangan. Selain beberapa penjelasan tersebut terdapat penjelasan lagi yang melihat pengertian Individu dalam konsep Sosiologis, yakni individu berarti manusia yang hidup berdiri sendiri. Individu sebagai mahkluk ciptaan Tuhan di dalam dirinya selalu dilengkapi oleh kelengkapan hidup yang meliputi raga, rasa, rasio, dan rukun.
1.1 Raga
Raga merupakan bentuk jasad manusia yang khas yang dapat membedakan antara individu yang satu dengan yang lain, sekalipun dengan hakikat yang sama.

1.2 Rasa
Rasa merupakan perasaan manusia yang dapat menangkap objek gerakan dari benda-benda isi alam semesta atau perasaan yang menyangkut dengan keindahan.

1.3 Rasio
Rasio atau akal pikiran, merupakan kelengkapan manusia untuk mengembangkan diri, mengatasi segala sesuatu yang diperlukan dalam diri tiap manusia dan merupakan alat untuk mencerna apa yang diterima oleh panca indera.

1.4 Rukun atau pergaulan hidup
Rukun atau pergaulan hidup merupakan bentuk sosialisasi dengan manusia dan hidup berdampingan satu sama lain secara harmonis, damai dan saling melengkapi. Rukun inilah yang dapat membantu manusia untuk membentuk suatu kelompok sosial yang sering disebut masyarakat.
 Dari beberapa pengertian Individu tersebut dapat dikatakan bahwa yang dimaksud individu adalah manusia yang berdiri secara perseorangan bukan kelompok. Ia memiliki keunikan yang dapat membedakan antara dirinya dengan manusia lainnya.
2.    Karakteristik Individu
Karakteristik atau dalam kata lain ciri-ciri memiliki arti sifat suatu benda yang khas yang menunjukkan identitas benda tersebut. Pada bahasan ini akan dibahas karakteristik individu, dimana pengertian individu itu sendiri telah dijelaskan pada uraian sebelumnya.
Secara garis besar karakteristik individu adalah individu yang mampu bersosialisasi dengan lingkungan dan mampu mengendalikan keadaannya. Sehingga dalam diri individu tersebut terbentuk karakteristik yang diperoleh dari lingkungan maupun bawaan dari garis keturunannya. Menurut Arief Subyantoro, dalam jurnalnya yang berjudul Karakteristik Individu, Karakteristik Pekerjaan, Karakteristik Organisasi dan Kepuasan Kerja Pengurus yang Dimediasi oleh Motivasi Kerja, menjelaskan bahwa karakteristik individu meliputi:
1. Kemampuan (ability)
Kemampuan (ability) adalah kapasitas seseorang individu dalam fungsi dari pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill).

2. Nilai
Manusia selalu ingin dihargai dan dihormati sebagai makhluk yang bermartabat. Sehingga dia harus memiliki nilai dalam lingkungannya.

3. Sikap (attitude)
Menurut Robbins (2003) sikap adalah pernyataan evaluatif baik yang menguntungkan atau tidak menguntungkan mengenai objek, orang, atau peristiwa. Jadi yang dimaksud sikap dalam hal ini mengarah pada bagaimana individu tersebut berinteraksi dengan lingkungannya.

4. Minat (interest)
Minat (interest) adalah sikap yang membuat orang senang akan objek situasi atau ide – ide tertentu. Hal ini diikuti oleh perasaan senang dan kecenderungan untuk mencari objek yang disenangi itu. Pola–pola minat seseorang merupakan salah satu faktor yang menentukan relasi individu dengan lainnya.

3.    Aspek Perkembangan
Individu berkembang melalui berbagai tahap kehidupan mengikuti perkembangan epigenetik. Namun yang dibahas disini lebih condong pada perkembangan kepribadian individu secara umum sejak lahir hingga tua. Berikut merupakan tahapan perkembangan individu:
1.      Tahap Bayi (Infancy, 0-6 tahun)
Pada tahap ini individu sangat dipengaruhi oleh orang-orang terdekatnya biasanya keluarga maupun tetangga yang akrab dengan keluarganya. Pengaruh tersebut  membentuk sikap sosial, kekuatan superego, perasaan aman dan tidak aman, sikap terhadap otoritas dan kecenderungan neuorik.

2.      Tahap Anak (Childhood, 6-14 tahun)
Menurut Cattel, pada tahap ini hanya timbul sedikit masalah psikologis, sehingga disebut periode konsolidasi. Ciri-ciri pada periode ini adalah munculnya sikap-sikap mandiri dan meningkatnya identifikasi terhadap sebayanya, tetapi belum ada problem yang besar.

3.  Tahap Adolesen (Adolescence, 14-23 tahun)
Pada masa ini individu tidak lagi disebut anak melainkan remaja. Periode ini individu mengalami masa yang sulit, sebab individu mencari siapa dia atau bias juga dikatakan jati dirinya. Individu tahap adolesen memilki ciri-ciri keingintahuan yang tinggi sehingga ia coba-coba.

4. Tahap kemasakan (Maturity, 23-50 tahun)
Secara umum, awal tahap ini ditandai dengan kesibukan, kebahagiaan, dan produktivitas. Sebab pada umumnya individu di usia ini menyiapkan karir, perkawinan, dan keluarga. Kepribadian lebih mantap dan cenderung tidak berubah.

5. Tahap usia pertengahan (Middle Age, 50-60/70 tahun)
Terdapat perubahan dalam kepribadian karena faktor fisik, sosial, dan psikologikal. Di masa ini kesehatan semakin redup, begitu pula penampilan fisik yang semakin keriput membuat daya tarik dari segi fisik berkurang. Namun individu pada usia ini biasanya di hormati oleh orang yang berusia lebih muda dan tutur katanya lebih dihargai.

6. Tahap Tua (Senility, 60/70-mati)
 Tahap ini menurut Cattel, merupakan tahap final, karena melibatkan penyesuaian kehilangan. Sebab dimasa ini individu sudah tidak produktif lagi, karena kekutan secara fisik sudah berkurang drastis. Maka individu di usia lanjut memerlukan bantuan individu yang lebih muda dalam beraktivitas.

4.    Perbedaan Antar Individu
Seperti yang telah dijelaskan bahwa Individu adalah makhluk yang unik, ia tidak sama dengan sesama lainnya. Menurut Gordon Allport, seorang psikolog, manusia adalah makhluk yang rasional. Prinsip dasar tingkah laku manusia adalah terus menerus bergerak. Arus aktivitas ini memiliki unsur yang tetap (trait) dan unsur yang berubah-ubah (Functional autonomy: kecenderungan tingkah laku untuk berlanjut oleh alasan yang berbeda dengan motivasi awalnya. (Alwisol, 2008: 219)
Melalui arus aktivitas tersebut maka dapat membentuk kepribadian setiap individu. Kepribadian adalah organisasi dinamik dalam system psikofisik individu yang menentukan pola pikir serta bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungannya. Definisi kepribadian ini memiliki 3 (tiga) unsur pokok:
1.      Istilah dynamic organization merangkum dua pengertian; kepribadian terus menerus berkembang dan berubah, dan penjelasan bahwa di dalam  diri individu ada pusat organisasi yang mewadahi semua komponen kepribadian yang menghubungkan satu dengan lainnya.
2.      Istilah psychophysical systems menjelaskan bahwa kepribadian merupakan fenomena nyata bukan hanya konstruk hiponetik yang merangkum elemen mental dan neural.
3.      Istilah determine mempertegas bahwa kepribadian bukan sekedar konsep yang menjelaskan tingkah laku individu melainkan bagian dari individu yang berperan aktif dalam tingkah laku individu tersebut.

4.1 Arus Aktivitas yang Berperan dalam Pembentukkan Kepribadian
            Arus aktivitas merupakan rutinitas individu, yang dapat dijabarkan sebagai berikut; Dimana ia banyak menghabiskan waktu bersama?; Siapa orang yang paling dekat dengannya?; Bagaimana Lingkungannya?
            Dalam struktur kepribadian dikenal istilah “Sifat (Trait)”. Menurut Raymond B. Cattel, trait adalah elemen dasar dari kepribadian yang mampu meramalkan tingkah laku individu. Trait ini terdapat dalam masyarakat (Trait Umum) serta ruang lingkup kecil, seperti keluarga (Trait Khusus). Tak dapat dipungkiri lagi bahwa setiap hari individu selalu berada di tengah-tengah trait itu. Dan dalam ranah psikologi, manusia adalah makhluk yang selalu ingin beradaptasi dengan lingkungannya dan mengikuti arus perubahan. Kenyataan ini tampak pada gaya hidup yang dari tahun ke tahun selalu berubah.
Namun trait tersebut tidak dapat memengaruhi individu secara langsung, karena setiap individu memiliki motivasi dalam hidupnya. Sehingga trait bukanlah suatu faktor penentu kepribadian.

4.2 Pengaruh Kepribadian Terhadap Individu
            Setelah kepribadian terbentuk secara otomatis individu berperilaku dan berpikir sesuai apa yang ada dalam dirinya. Hal ini terlihat pada saat ia bergaul dengan teman sebayanya atau berinteraksi dengan lingkungan dimana ia berada. Ketika berinteraksi inilah pengaruh kepribadian terlihat. Karena gaya setiap orang dalam berinteraksi berbeda-beda. Contohnya tipe orang singularis akan lebih mudah bergaul, karena ia bersifat humoris, sedangkan tipe melakolis ia hanya mencari perhatian saja, biasanya tipe melankolis ini ditemui pada anak yang selalu perfeksionis.
            Dengan demikian disimpulkan bahwa kepribadian membedakan individu satu dengan individu lainnya.


BAB II
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN

2.1 Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan
            Perkembangan (development) merupakan pola yang berlanjut sepanjang rentang hidup. Kebanyakan perkembangan melibatkan pertumbuhan, artinya kedua istilah ini saling bergantung satu sama lain, akan tetapi dapat dibedakan. Berikut merupakan pengertian simplisitnya sebagai:

Perkembangan merupakan perubahan-perubahan yang dialami individu menuju tingkat kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistimatis, progresif, dan berkesinambungan. Yang dimaksud sistimatis, progresif dan berkesinambungan adalah:
1.      Sistimatis, berarti perubahan dalam perkembangan tersebut bersifat saling memengaruhi antara bagian-bagian organisme (fisik dan psikis) dan merupakan satu kesatuan yang harmonis.
2.  Progresif,perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat, dan mendalam baik  secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis).
3.  Berkesinambungan, perubahan tidak terjadi secara loncat-loncat melainkan terdapat tahap-tahap yang beraturan.
            Menurut Werner, perkembangan sejalan dengan prinsip orthogenetis, bahwa perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai ke keadaan dimana diferensiasi, artikulasi dan integrasi meningkat secara bertahap (Sunarto, 1995:31). Dalam konsep ini Werner menyatakan bahwa pada masa kanak-kanak individu tampak adanya diskontinuitas, namun setelah dewasa kontinuitas tersebut tampak. Maksud kontinuitas disini adalah tahapan perkembangan secara teratur.
            Spiker mengemukakan dua macam pengertian perkembangan, yakni:
1.  Ortogenetik, yang berhubungan dengan perkembangan sejak terbentuknya individu baru hingga dewasa.
2. Filogenetik, yakni perkembangan asal-usul manusia sampai sekarang ini. Perubahan perkembangan fungsi sepanjang masa hidupnya menyebabkan perubahan tingkah laku dan perubahan ini terjadi sejak permulaan manusia. Jadi perkembangan ini mengarah pada kesempurnaan manusia.

            Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran tubuh dan struktur biologis. Pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan dari fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat. Hasil pertumbuhan antara lain berwujud bertambahnya ukuran-ukuran kuantitatif badan anak, seperti panjang, berat, dan kekuatannya. Dengan demikian pertumbuhan dapat juga diartikan sebagai proses perubahan dan pematangan fisik.

            Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan:
1.      Nutrisi yang diberikan pada saat individu berada dalam kandungan.
2.      Kondisi psikologis Ibu pada saat mengandung.
3.      Keselamatan pada saat dilahirkan. Individu yang dilahirkan di rumah sakit tentu tingkat keselamatannya lebih baik dibanding dengan individu yang lahir oleh dukun bayi.
Faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh pada kecepatan pertumbuhan individu. Sehingga hal tersebut tidak boleh dipandang sebelah mata.

a.        Ciri-ciri Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan dan perkembangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Terjadinya perubahan dalam (a) aspek fisik: perubahan tinggi dan berat badan serta organ-organ lainnya, (b) aspek psikis: semakin bertambahnya perbendaharaan kata dan matangnyakemampuan berpikir, mengingat, serta menggunakan imajinasi kreatifnya.
2.      Terjadinya perubahan dalam proporsi; (a) aspek fisik: proporsi tubuh anak berubah sesuai dengan fase perkembangannya dan pada usia remaja proporsi tubuh anak mendekati proporsi tubuh usia remaja, (b) aspek psikis: perubahan imajinasi dari yang fantasi ke realitas; dan perubahan perhatiannya dari yang tertuju kepada dirinya sendiri beralih kepada kelompok teman sebaya.
3.      Lenyapnya tanda-tanda lama; (a) tanda-tanda fisik: lenyapnya kelenjar Thymus (kelenjar kanak-kanak) yang terletak pada bagian dada, kelenjar pineal pada bagian otak, rambut-rambut halus dan gigi susu, (b)tanda-tanda psikis: lenyapnya masa mengoceh, bentuk gerak-gerik pada kanak-kanak (seperti merangkak) dan perilaku impulsive (dorongan untuk bertindak sebelum berpikir).
4.      Diperolehnya tanda-tanda yang baru; (a) tanda-tanda fisik: pergantian gigi dan karakteristik seks pada usia remaja, baik primer (menstruasi, dan mimpi ”basah”), maupun sekunder (perubahan pada bentuk anggota tubuh, (b) tanda-tanda psikis: seperti berkembangan rasa ingin tahu terutama yang berhubungan dengan seks, ilmu pengetahuan,nilai-nilai moral,dan keyakinan beragama.

2.3 Prinsip-prinsip Perkembangan Individu
2.3.1 Perkembangan merupakan proses yang tidak pernah berhenti (Never Ending Process)
            Manusia secara terus menerus berkembang atau berubah yang dipengaruhi oleh pengalaman atau belajar sepanjang hidupnya. Perkembangan berlangsung secara terus menerus sejak masa konsepsi sampai mencapai kematangan masa tua.

2.3.2 Semua aspek perkembangan saling memengaruhi
            Setiap aspek dalam perkembangan individu, baik fisik, emosi, intelegensi maupun sosial, satu sama lainnya saling memengaruhi. Terdapat korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Apabila seorang anak  dalam pertumbuhan fisiknya mengalami gangguan (sering sakit-sakitan), maka dia akan mengalami kemandegan dalam perkembangan aspek lainnya, seperti kecerdasanny kurang berkembang dan mengalami kelabilan emosional.

2.3.3 Perkembangan itu mengikuti pola atau arah tertentu
            Perkembangan yang terjadi secara teratur mengikuti pola atau arah tertentu. Setiap tahap perkembangan merupakan hasil perkembangan dari tahap sebelumnya yang merupakan prasyarat dari perkembangan selanjutnya. Contohnya, untuk dapat berjalan, seorang anak harus dapat berdiri terlebih dahulu dan berjalan merupakan prasyarat dari perkembangan selanjutnya. Perhatikan pola perkembangan umum yang dilalui anak pada table berikut.


Tabel 2.3.3.1 Arah Tahapan Perkembangan Anak
TAHAP PERKEMBANGAN
JENIS PERKEMBANGAN
Usia 4-16 minggu
Bayi dapat menguasai 12 macam otot ocula motornya.
Usia 16-28 minggu
 Bayi dapat manguasai otot-otot yang menyanggah kepalanya dan menggerakkan tangannya. Ia mulai dapat meraih benda-benda.
Usia 28-40 minggu
Ia dapat menguasai badan dan tangannya. Ia mulai dapat duduk, menangkap, dan mempermainkan benda-benda.
Tahap kedua
Anak sudah pandai berjalan dan berlari, dapat menggunakan kata-kata dan mengenal identitasnya (seperti namanya).
 Tahap ketiga
Anak dapat berbicara dalam kalimat dan menggunakan kata-kata sebagai alat berpikir.
Tahap keempat
Anak mulai banyak bertanya dan dapat berdiri sendiri.
Tahap kelima
Anak telah matang dalam menguasai gerak-gerik motorisnya. Ia dapat melompat-lompat, bercerita agak lebih panjang, lebih suka bermain berkawan.

            Sementara itu, Yelon dan Weinstein (1977) mengemukakan tentang arah atau pola perkembangan umum itu sebagai berikut.
a.       Cephalocaudal dan proximal-distal. Maksudnya, perkembangan manusia itu mulai dari kepala ke kaki (cephalocaudal), dan dari tengah: paru-paru, jantung dan sebagainya, ke pinggir: tangan (proximal-distal).


b.      Struktur mendahului fungsi. Ini berarti anggota tubuh individu akan berfungsi setelah matang strukturnya. Seperti mata, akan dapat melihat setelah otot-ototnya matang, atau kaki, dapat difungsikan setelah otot-ototnya matang.

c.       Perkembangan itu berdiferensiasi. Maksudnya, perkembangan itu berlangsung dari umum ke khusus (spesifik). Dalam semua aspek perkembangan, baik motoric (fisik) maupun mental (psikis),respons anak pada mulanya bersifat umum. Contoh: (1) Bayi menendang-nendangkan kakinya secara sembarangan sebelum ia dapat mengaturnya untuk merangkak atau berjalan; (2)  Bayi melihat benda-benda yang lebih besar dahulu sebelum ia dapat melihat benda-benda yang kecil; (3) Bayi mengoceh terlebih dahulu sebelum ia dapat mengucapkan kata-kata; (4) Bayi menunjukkan rasa takut yang bersifat umum terhadap semua benda asing baginya, kemudian lambat laun rasa takutnya menjadi lebih tertuju pada hal-hal tertentu.

d.       Perkembangan itu berlangsung dari konkret ke abstrak. Maksudnya, perkembangan itu berproses dari suatu kemampuan  berpikir yang konkret (objeknya tampak) menuju ke abstrak (objeknya tidak tampak. Seperti anak kecil dapat berhitung dengan bantuan jari tangan, sedangkan remaja sudah tidak lagi memerlukan bantuan tersebut.

e.       Perkembangan itu berlangsung dari egosentrisme ke perspektivisme. Ini berarti bahwa pada mulanya seorang anak hanya melihat atau memerhatikan dirinya sebagai pusat, dia melihat bahwa lingkungan itu harus memenuhi kebutuhan dirinya. Melalui pengalamannya dalam bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, lambat launsikap egosentrisme itu berubah menjadi perspektivisme (anak sudah memiliki sikap simpati atau memerhatikan kepentingan orang lain).

f.       Perkembangan itu berlangsung dari ”Outter control to inner control”. Maksudnya, pada awalnya anak sangat bergantung pada orang lain (terutama orang tuanya), baik menyangkut pemenuhan kebutuhan fisik maupun psikis (perlindungan, kasih saying, atau norma-norma) sehingga dia dalam menjalani hidupnya masih didominasi oleh pengontrolan dari luar (out control). Seiring bertambahnya pengalaman atau belajar dari pergaulan sosial tentang norma atau nilai-nilai, baik di lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya atau masyarakat, anak dapat mengembangkan kemampuan untuk mengontrol dirinya (inner control). Kemampuan ”inner control” ini seperti: dia dapat mengambil keputusan atau memecahkan masalah berdasarkan pertimbangan sendiri dan bertanggung jawab terhadap risiko yang mungkin terjadi.

2.3.4 Perkembangan terjadi pada tempo yang berlainan
            Perkembangan fisik dan mental mencapai kematangannya terjadi pada waktu dan tempo yang berbeda (ada yang cepat dan ada yang lambat). Misalnya, (a) otak mencapai bentuk ukurannya yang sempurna pada umur 6-8 tahun; (b) tangan, kaki, dan hidung mencapai perkembangan maksimum pada masa remaja; dan (c) imajinasi kreatif berkembang dengan cepat pada masa anak-anak dan mencapai puncaknya pada masa remaja.

2.3.5 Setiap fase perkembangan mempunyai ciri khas
            Prinsip ini dapat dijelaskan dengan contoh berikut: (a) Sampai usia dua tahun, anak memusatkan untuk mengenal lingkungannya, menguasai gerak-gerik fisik dan belajar berbicara; (b) Pada usia tiga sampai enam tahun, perkembangan dipusatkan untuk menjadi manusia sosial (belajar bergaul dengan orang lain).

2.3.6 Setiap individu yang normal akan mengalami tahapan/fase perkembangan
            Prinsip ini berarti bahwa dalam menjalani hidupnya yang normal dan berusia, panjang individu mengalami fase-fase perkembangan: bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dewasa, dan masa tua.

BAB III
REMAJA DAN PERKEMBANGANNYA

4.1 Remaja
            Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa. Dalam perkembangan menuju dewasa tentu seorang remaja mengalami masa yang sulit. Perlu diketahui bahwa di masa remaja individu mengalami perubahan-perubahan fisik dan psikologis dengan sangat cepat. Masa ini merupakan peralihan dari bentuk tubuh kekanak-kanakan, pandangan hidup kekanak-kanakan, menuju bentuk fisik dan tingkah laku yang matang atau dewasa. Perubahan yang cepat inilah yang dinamakan masa sulit, sebab perubahan ini mengakibatkan kebingungan, rasa tidak aman, dan banyak hal yang menimbulkan tingkah laku tidak menguntungkan.

            Dibalik itu semua masa remaja juga berorientasi pada masa depan. Menurut Samsunuwiyati dalam bukunya yang berjudul Psikologi Perkembangan, Orientasi masa depan merupakan salah satu fenomena perkembangan kognitif yang terjadi pada masa remaja. Gagasan ini dikuatkan dengan pernyataan Elizabeth B. Hurlock tentang tugas-tugas masa remaja dan perannya yang intinya juga mengarah pada orientasi masa depan. Sebagai fenomena kognitif, orientasi masa depan berkaitan erat dengan skemata kognitif, yakni suatu organisasi perceptual dari pengalaman masa lalu  beserta kaitannya dengan pengalaman masa kini dan dimasa yang akan datang. Skemata kognitif akan memberikan suatu gambaran bagi remaja tentang hal-hal yang dapat diantisipasi di masa yang akan datang, baik tentang dirinya sendiri maupun tentang lingkungannya, atau bagaimana individu mampu manghadapi perubahan konteks dari berbagai aktivitas dimasa depan.
4.2 Ciri-ciri remaja menurut Hurlock (1992)
a. Masa remaja sebagai periode yang penting yaitu perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
b. Masa remaja sebagai periode pelatihan. Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas, keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan, yaitu perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta keinginan akan kebebasan.
d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.
e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan. Dikatakan demikian karena sulit diatur, cenderung berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang tua menjadi takut.
f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-cita.
g. Masa remaja sebagai masa dewasa. Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perilaku seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan. Disimpulkan adanya perubahan fisik maupun psikis pada diri remaja, kecenderungan remaja akan mengalami masalah dalam penyesuaian diri dengan lingkungan. Hal ini diharapkan agar remaja dapat menjalani tugas perkembangan dengan baik-baik dan penuh tanggung jawab.

4.3 Perkembangan Moral
            Moral merupakan suatu kebutuhan penting bagi remaja, terutama sebagai pedoman menemukan identitas dirinya, mengembangkan hubungan personal yang harmonis, dan menghindari konflik. Menurut Kohlberg tingkat moralitas remaja lebih matang, karena mereka sudah mengenal konsep-konsep moralitas seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, kedisiplinan dan sebagainya. Walaupun anak remaja tidak mengikuti prinsip-prinsip moralitas mereka sendiri, namun riset menyatakan bahwa prinsip-prinsip tersebut menggambarkan keyakinan yang sebenarnya dari pemikiran moral konvensional[1].

4.4 Perkembangan Spiritual
            Seifert dan Hoffnung menempatkan pembahasan tentang spiritual dalam kelompok bidang perkembangan kognitif. Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Menurut Adams dan Gullota, agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah laku. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang berada di dunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.

            Dibandingkan dengan masa anak-anak, spiritualitas remaja telah mengalami perkembangan yang signifikan. Jika dimasa kanak-kanak, ketika mereka baru memiliki kemampuan simbolik, Tuhan dibayangkan sebagai person yang ada di awan, maka pada masa remaja mereka lebih mencari konsep tentang Tuhan secara mendalam.

4.5 Perkembangan Individuasi dan Identitas
Dalam konteks psikologi perkembangan, pembentukan identitas merupakan tugas utama dalam perkembangan kepribadian yang diharapkan tercapai pada akhir masa remaja. Meskipun tugas pembentukkan identitas ini telah mempunyai akar-akarnya pada masa anak-anak, namun pada masa remaja ia menerima dimensi baru karena berhadapan dengan perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan relasional. Selama masa remaja ini, kesadaran akan identitas menjadi lebih kuat, karena itu ia berusaha mencari identitas dan mendefinisikan kembali “siapakah” ia saat ini dan akan menjadi “siapakah” ia nanti. Perkembangan identitas selama masa remaja ini juga sangat penting karena ia memberikan suatu landasan bagi perkembangan psikososial dan relasi interpersonal pada masa dewasa.

4.6 Perkembangan Emosi Masa Remaja

Dalam literatur klasik psikologi, emosi merupakan reaksi (kejiwaan) yang muncul lantaran adanya stimulan. Emosi yang sangat fruktuatif (mudah berubah) terjadi pada masa remaja. Remaja sering tidak mampu memutuskan simpul-simpul ikatan emosional kanak-kanaknya dengan orang tua secara logis dan objektif. Dalam usaha itu mereka kadang-kadang harus menentang, berdebat, bertarung pendapat dan mengkritik dengan pedas sikap-sikap orang tua (Thomburg, 1982). Meskipun hal ini sulit dilakukan namun dalam upaya pencapaian kemandirian yang optimal terhadap diri remaja maka upaya tersebut harus ditempuh.
Fenomena ini menarik untuk dicermati, sebab perilaku anak remaja tersebut bila ditinjau dari perspektif psikologis merupakan upaya pelepasan dirinya dari keterikatan-keterikan orang tua yang dirasa terlalu membelenggu, ia berusaha mandiri secara emosi, dan tidak lagi menjadikan orang tua sebagai satu-satunya sandaran dalam pengambilan keputusan. Ia memutuskan sesuatu atas dasar kebutuhan dan kemampuan pribadi, walaupun pada suatu saat masih mempertimbangkan kepentingan dan harapan orang tua.
Bagi remaja, tuntutan untuk memperoleh kemandirian secara emosional merupakan dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas dari perintah-perintah dan kontrol orang tua. Remaja menginginkan kebebasan pribadi untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa bergantung secara emosional pada orang tuanya. Bila remaja mengalami kekecewaan, kesedihan atau ketakutan, mereka ingin dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Meskipun remaja dapat mendiskusikan masalah-masalahnya dengan ayah atau ibunya, tetapi mereka ingin memperoleh kemandirian secara emosional dengan mengatasi sendiri masalah-masalahnya dan ingin memperoleh status yang menyatakan bahwa dirinya sudah dewasa.

Bagi remaja, tuntutan untuk memperoleh kemandirian secara emosional merupakan dorongan internal dalam mencari jati diri, bebas dari perintah-perintah dan kontrol orang tua. Remaja menginginkan kebebasan pribadi untuk dapat mengatur dirinya sendiri tanpa bergantung secara emosional pada orang tuanya. Bila remaja mengalami kekecewaan, kesedihan atau ketakutan, mereka ingin dapat mengatasi sendiri masalah-masalah yang dihadapinya. Meskipun remaja dapat mendiskusikan masalah-masalahnya dengan ayah atau ibunya, tetapi mereka ingin memperoleh kemandirian secara emosional dengan mengatasi sendiri masalah-masalahnya dan ingin memperoleh status yang menyatakan bahwa dirinya sudah dewasa.

Perkembangan kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi antara ibu dan ayah dengan remajanya. Orang tua merupakan lingkungan pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak remajanya, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian emosional remaja. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan seperti I Nyoman Karna (2002), Miftahul Jannah (2004), Risa Panti Ariani (2004) menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orang tua yang harmonis, hangat, penuh kasih sayang (authoritative) menunjang perkembangan kemandirian emosional remaja, namun sebaliknya gaya pengasuhan yang penuh dengan tuntutan, orang tua tidak perhatian, penuh dengan sanksi, tidak pernah melibatkan anak dalam pengambilan keputusan akan menghambat perkembangan kemandirian remaja khususnya kemandirian emosional artinya remaja tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan dan keterikatan secara emosional dengan orang tua.

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.

Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya.

Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja Anda dalam kesulitan besar.

Untuk mendapatkan kebebasan emosional, remaja mencoba merenggangkan hubungan emosionalnya dengan orang tua; ia harus dilatih dan belajar untuk memilih dan menentukan keputusannya sendiri. Usaha ini biasanya disertai tingkah laku memberontak atau membangkang. Dalam hal ini diharapkan pengertian orang tua untuk tidak melakukan tindakan yang bersifat menindas, akan tetapi berusaha membimbingnya secara bertahap. Usahakan jangan menciptakan suasana lingkungan yang lain, yang kadang-kadang menjerumuskannya. Anak menjadi nakal, pemberontak dan malah mempergunakan narkotika (menyalahgunakan obat).



BAB IV
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN REMAJA

Remaja didefinisikan sebagai tahap perkembangan transisi yang membawa individu dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut Seifert dan Hoffnung (1987), periode ini umumnya dimulai sekitar usia 12 tahun hingga akhir masa pertumbuhan fisik, yaitu sekitar usia 20 tahun. Usia remaja berada dalam usia 12 tahun sampai 21 tahun bagi wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi pria.
Ada dua pandangan teoritis tentang remaja. Menurut pandangan teoritis pertama – yang dicetuskan oleh psikolog G. Stanley Hall – : adolescence is a time of “storm and stress“. Artinya, remaja adalah masa yang penuh dengan “badai dan tekanan jiwa”, yaitu masa di mana terjadi perubahan besar secara fisik, intelektual dan emosional pada seseorang yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan (konflik) pada yang bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan lingkungannya (Seifert & Hoffnung, 1987). Dalam hal ini, Sigmund Freud dan Erik Erikson meyakini bahwa perkembangan di masa remaja penuh dengan konflik.
Menurut pandangan teoritis kedua, masa remaja bukanlah masa yang penuh dengan konflik seperti yang digambarkan oleh pandangan yang pertama. Banyak remaja yang mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya, serta mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan kebutuhan dan harapan dari orang tua dan masyarakatnya. Bila dikaji, kedua pandangan tersebut ada benarnya, namun sangat sedikit remaja yang mengalami kondisi yang benar-benar ekstrim seperti kedua pandangan tersebut (selalu penuh konflik atau selalu dapat beradaptasi dengan baik). Kebanyakan remaja mengalami kedua situasi tersebut (penuh konflik atau dapat beradaptasi dengan mulus) secara bergantian (fluktuatif).



5.1 Psikis Remaja
5.1.1 Remaja Awal
Ketidakstabilan keadaan perasaan dan emosi
Pada masa ini, remaja mengalami badai dan topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Keadaan semacam ini sering disebut strom and stress. Remaja sesekali sangat bergairah dalam bekerja tiba-tiba berganti lesu, kegembiraan yang meledak bertukar rasa sedih yang sangat, rasa percaya diri berganti rasa ragu-ragu yang berlebihan, termasuk ketidaktentuan dalam menentukan cita-cita dan menentukan hal-hal yang lain.

Status remaja awal yang membingungkan
Status mereka tidak hanya sulit ditentukan, tetapi juga membingungkan. Perlakuan orang tua terhadap mereka sering berganti-ganti. Orang tua ragu memberikan tanggungjawab dengan alasn mereka masih “kanak-kanak”. Tetapi saat mereka bertingkah kekanak-kanakan, mereka mendapat teguran sebagai “orang dewasa”. Karena itu, mereka bingung akan status mereka.

Banyak masalah yang dihadapi remaja
Remaja awal sebagai individu yang banyak mengalami masalah dalam kehidupannya. Hal ini dikarenakan mereka lebih mengutamakan emosionalitas sehingga kurang mampu menerima pendapat orang lain yang bertentangan dengan pendapatnya. Faktor ini disebabkan karena mereka menganggap bahwa dirinya lebih mampu daripada orang tua.
5.1.2 Remaja Akhir
Pada masa ini terjadi proses penyempurnaan pertumbuhan fisik dan perkembangan psikis.
Stabilitas mulai timbul dan meningkat
Stabilitas mulai timbul dan meningkat dalam aspek psikis. Demikian pula stabil dalam minat-minatnya; pemilihan sekolah, jabatan, pakaian, pergaulan dengan sesame ataupun lain jenis. Mereka mulai menunjukkan kemantapan serta tidak mudah berubah pendirian. Proses menjadi stabil ini akan lebih cepat apabila orang tua berperan dengan lebih demokratis.

Citra diri dan sikap pandang yang lebih realistis
Disini remaja mulai menilai dirinya sebagaimana adanya (apa adanya), menghargai miliknya, keluarganya dan orang lain seperti keadaan sesungguhnya.

Menghadapi masalahnya secara lebih matang
Hal ini disebabkan oleh karena kemampuan piker remaja akhir yang telah lebih sempurna dan ditunjang oleh sikap pandangan yang lebih realistis.

Perasaan menjadi lebih tenang
Mereka tidak lagi menampakkan gejala-gejala strom and stress sehingga muncullah suatu ketenangan dalam diri mereka.

5.2 Karakteristik Fisik
5.2.1 Ciri-ciri fisik masa remaja awal
- Terjadi pertumbuhan fisik yang pesat
- Dalam jangka 3-4 tahun anak bertumbuh hingga tingginya hampir menyamai tinggi ortu.
- Pada laki-laki mulai memperlihatkan penonjolan otot-otot pada dada, lengan, paha dan betis. Pada wanita mulai menunjukkan mekar tubuh yang membedakannya dengan tubuh kanak-kanak.
- Pada usia 12-14 tahun remaja putri bertumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pria. Dalam masa pertumbuhan ini baik remaja pria maupun remaja wanita cenderung ke arah memanjang dibanding melebar.
- Kematangan kelenjar seks pada usia 11/12 th (remaja putri) dan 14/15 th (remaja putra).
5.2.2 Ciri-ciri Fisik Remaja Akhir
- Pertumbuhan fisik remaja akhir relatif berkurang. Hal ini tampak pada saat remaja pria di usia 20 th dan remaja wanita 18 th dimana proses pertumbuhan menjadi lambat.
- Beberapa aspek pertumbuhan menunjukkan kesiapan untuk memasuki masa dewasa awal, seperti anggota badan mulai seimbang, wajah yang simetris, bahu yang berimbang dengan pinggul.


BAB V
PERKEMBANGAN PSIKOLOGI REMAJA
6.1  Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
       Menurut “ Erick Erison ‘ masa remaja merupakan masa krisis , masa pencarian jati diri. Dia berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh sosiokultural. Remaja berarti pada tingkat perkembangan anak yang telah mencapai jenjang menjelang dewasa. Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah cukup kompleks, cakrawala interaksi sosial dan pergaulan remaja telah cukup luas. Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai memperlihatkan dan mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku sebelumnya di dalam keluarganya. Remaja menghadapi berbagai lingkungan, bukan saja bergaul dengan berbagai kelompok umur. Dengan demikian, remaja mulai memahami norma pergaulan dengan kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama remaja lawan jenis dirasakan yang paling penting tetapi cukup sulit, karena di samping harus memperhatikan norma pergaulan sesama remaja, juga terselip pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk memilih teman hidup.

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
      Perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: keluarga, kematangan anak, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental terutama emosi dan inteligensi.
2.3.1 Keluarga
    Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Di dalam keluarga berlaku norma-norma kehidupan keluarga, dan dengan demikian pada dasarnya keluarga merekayasa perilaku kehidupan budaya anak.
     Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menempatkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.
2.3.2  Kematangan anak
      Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk mampu mempertimbangan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Di samping itu, kemampuan berbahasa ikut pula menentukan.nDengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan baik.
2.3.3 Status Sosial Ekonomi
      Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi atau status kehidupan sosial keluarga dalam lingkungan masyarakat. Masyarakat akan memandang anak, bukan sebagai anak yang independen, akan tetapi akan dipandang dalam konteksnya yang utuh dalam keluarga anak itu. “ia anak siapa”. Secara tidak langsung dalam pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompoknya dan memperhitungkan norma yang berlaku di dalam keluarganya.
Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya. Sehubungan dengan itu, dalam kehidupan sosial anak akan senantiasa “menjaga” status sosial dan ekonomi keluarganya. Dalam hal tertentu, maksud “menjaga status sosial keluarganya” itu mengakibatkan menempatkan dirinya dalam pergaulan sosial yang tidak tepat. Hal ini dapat berakibat lebih jauh, yaitu anak menjadi “terisolasi” dari kelompoknya. Akibat lain mereka akan membentuk kelompok elit dengan normanya sendiri.
2.3.4 Pedidikan
     Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, akan memberikan warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Pendidikan dalam arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman norma perilaku yang benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik yang belajar di kelembagaan pendidikan(sekolah).
Kepada peserta didik bukan saja dikenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat, tetapi dikenalkan kepada norma kehidupan bangsa(nasional) dan norma kehidupan antarbangsa. Etik pergaulan membentuk perilaku kehidupan bermasyarakat dan bernegara.



2.3.5 Intelektual
       Kemampuan berpikir mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu kemampuan intelektual tinggi, kemampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hal ini akan dengan mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan intelektual tinggi.
2.3.6 Media Masa
       Media masa meliputi Televisi, surat kabar, tabloid, majalah, dan lainnya secara tidak langsung dapat memengaruhi perkembangan sosial remaja. Dalam realitasnya diketahui banyak majalah-majalah yang khusus disajikan pada remaja, dan setelah seorang anak remaja mengetahui isi dari majalah atau surat kabar maka ia akan cenderung untuk mengikuti trend seperti di media tersebut. Contohnya, meniru model pakaian, gaya rambut dan lainnya yang menurutnya menarik.
2.3.7 Teman Sebaya
            Kehidupan anak remaja kebanyakan menghabiskan harinya untuk bermain dengan kelompok atau temannya. Di dalam proses bermain ini bisa berpotensi memengaruhi tingkah laku seorang anak.


BAB VI
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERILAKU DAN PRIBADI
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan dan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Seiring dengan tidak disadari bahwa interaksi itu sangat kompleks sehingga kadang- kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, selama ia mampu mengubah perilaku tersebut.
6.1  Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
6.1.1 Perkembangan fisik
Fisik atau tubuh manusia merupakan sistem organ yang kompleks dan sangat mengagumkan. Semua organ ini terbentuk pada periode pranatal (dalam kandungan). Berkaitan dengan perkembangan fisik ini Kuhlen dan Thompson (Hurlock, 1956) mengemukakan bahwa perkembangan fisik individu meliputi empat aspek, yaitu (1) Sistem syaraf, yang sangat mempengaruhi perkembangan kecerdasan dan emosi; (2) Otot-otot, yang mempengaruhi perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik; (3) Kelenjar Endokrin, yang menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru, seperti pada usia remaja berkembang perasaan senang untuk aktif dalam suatu kegiatan, yang sebagian anggotanya terdiri atas lawan jenis; dan (4) Struktur Fisik/Tubuh, yang meliputi tinggi, berat, dan proporsi.
Awal dari perkembangan pribadi seseorang asasnya bersifat biologis. Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya, normalitas dari konstitusi, struktur dan kondisi talian dengan masalah Body-Image, self-concept, self-esteem dan rasa harga dirinya. Perkembangannya fisik ini mencakup aspek-aspek sebagai berikut:
1. Perkembangan anatomis
Perkembangan anatomis ditunjukkan dengan adanya perubahan kuantitatif pada struktur tulang belulang. Indeks tinggi dan berat badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis keajegan badan badan secara keseluruhan.
2. Perkembangan fisiologis
Perkembangan fisiologis ditandai dengan adanya perubahan-perubahan secara kuantitatif, kualitatif dan fungsional dari sistem-sistem kerja hayati seperti konstraksi otot, peredaran darah dan pernafasan, persyaratan, sekresi kelenjar dan pencernaan.
Aspek fisiologis yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah otak (brain). Otak dapat dikatakan sebagai pusat atau sentral perkembangan dan fungsi kemanusiaan. Otak ini terdiri atas 100 miliar sel syaraf (neuron), dan setiap sel syaraf tersebut, rata-rata memiliki sekitar 3000 koneksi (hubungan) dengan sel-sel syaraf yang lainnya. Neuron ini terdiri dari inti sel (nucleus) dan sel body yang berfungsi sebagai penyalur aktivitas dari sel syaraf yang satu ke sel yang lainnya.
6.1.2   Perkembangan perilaku psikomotorik
Perilaku psikomotorik memerlukan koordinasi fungsional antara neuronmuscular system (persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif). Loree (1970 : 75) menyatakan bahwa ada dua macam perilaku psikomotorik utama yang bersifat universal harus di kuasai oleh setiap individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanaknya ialah berjalan (walking) dan memegang benda (prehension). Kedua jenis keterampilan psikomotorik ini merupakan basis bagi perkembangan keterampilan yang lebih kompleks seperti yang kita kenal dengan sebutan bermain (playing) dan bekerja (working).
Dua prinsip perkembangan utama yang tampak dalam semua bentuk perilaku psikomotorik ialah (1) bahwa perkembangan itu berlangsung dan yang sederhana kepada yang kompleks, dan (2) dan yang kasar dan global (gross bodily movements) kepada yang halus dan spesifik tetapi terkoordinasikan (finely coordinated movements).
Analogi menurut Loree:
(1) Berjalan dan Memegang Benda
Keterampilan berjalan diawali dengan gerakan-gerakan psikomotor dasar (locomotion) yang harus dikuasainya selama tahun pertama dari kehidupannya. Perkembangan psikomotorik dasar itu berlangsung secara sekuensial, sebagai berikut: (1) keterampilan bergulir (roil over) dan telentang menjadi telungkup (5 : 8 bulan), (2) gerak duduk (sit up) yang bebas (8,3 bulan), (3) berdiri bebas (9,0 bulan) berjalan dengan bebas (13,8 bulan) (Lorre, 1970: 75). Dengan demikian, maka dalam gerakan-gerakan psikornotorik dasar itu tingkatan perkembangan penguasaannya sudah dapat diprediksi. Kalau teradi kelambatan-kelambatan dan ukuran normalitas waktu di atas, berarti menandakan adanya kelainan tertentu. Keterampilan memegang benda, sampai dengan 6, bulan pertama dan kelahirannya barulah merupakan gerakan meraih benda-benda yang ditarik ke dekat badannya dengan seluruh lengannya. Baru mulai pada masa enam bulan kedua dan kelahirannya, jari-jemarinya dapat berangsur digunakan memungut dan memegang erat-erat benda, seraya memasukkan ke mulutnya. Keterampilan memegang secara bebas baru dicapai pula setelah keterampilan berjalan bebas dikuasai.
(2) Bermain dan Bekerja
Dengan dikuasainya keterampilan berjalan, anak bergerak sepanjang han ke segenap ruangan dan halaman rumahnya seperti tidak mengenal lelah, kadang-kadang berjalan, berlari, memanjat, melompat, dan sebagainya. Hampir setiap benda yang ada di sekitarnya disentuhnya, diguncang, dirobek, atau dilemparnya. Kalau kepada mereka diberikan atau disediakan alat-alat mainan tertentu mulailah mereka menyusunnya menyerupai konstruksi tertentu. Mulai usia 4-5 tahun bermain konstruksi yang fantastik itu dapat beralih kepada berbagai bentuk gerakan bermain yang ritmis dan dinamis, tetapi belum terikat dengan aturan-aturan tertentu yang ketat. Pada usia masa anak sekolah, permainan fantastik berkembang kepada permainan yang realistik yang melibatkan gerakan-gerakan yang lebih kompleks disertai aturan-aturan yang ketat. Pada usia remaja kegiatan motorik sudah tertuju kepada persiapan-persiapan kerja, keterampilan-keterampilan menulis, mengetik, menjahit, dan sebagainya sangat tepat saatnya mulai dikembangkan.
(3) Proses Perkembangan Motorik
Di samping faktor-faktor hereditas, faktor-faktor lingkungan alamiah, sosial, kultural, nutrisi dan gizi serta kesempatan dan latihan merupakan hal-hal yang sangat berpengaruh terhadap proses dan produk perkembangan fisik? dan perilaku psikomotorik.
6.2 Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitis
6.2.1 Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini tercakup semua cara untuk berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka. Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa merupakan anugerah dari Tuhan, yang dengannya manusia dapat mengenal atau memahami dirinya, sesama manusia, alam, dan penciptanya serta mampu memposisikan dirinya sebagai makhluk berbudaya dan mengembangkan budayanya. Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan berpikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Perkembangan pikiran itu dimulai pada usia 1,6-2,0 tahun, yaitu pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau tiga kata. Laju perkembangan itu sebagai berikut.
a. Usia 1,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat positif, seperti: “bapak makan”.
b. Usia 2,6 tahun, anak dapat menyusun pendapat negatif (menyangkal), seperti: “Bapak tidak makan”.
c. Pada usia selanjutnya, anak dapat menyusun pendapat:
1) Kritikan: “ini tidak boleh, ini tidak baik”.
2) Keragu-raguan: barangkali, mungkin, bisa jadi, ini terjadi apabila anak sudah menyadari akan kemungkinan ke khilafannya.
3) Menarik kesimpulan analogi, seperti: anak melihat ayahnya tidur karena sakit, pada waktu lain anak melihat ibunya tidur, dia mengatakan bahwa ibu tidur karena sakit.
Dalam berbahasa, anak dituntut untuk menuntaskan atau menguasai empat tugas pokok yang satu sama lainnya saling berkaitan. Apabila anak berhasil menuntaskan tugas yang satu, maka berarti juga ia dapat menuntaskan tugas-tugas yang lainnya. Keempat tugas itu adalah sebagai berikut:
1. Pemahaman, yaitu kemampuan memahami makna ucapan orang lain. Bayi memahami bahasa orang lain, bukan memahami kata-kata yang diucapkannya, tetapi dengan memahami kegiatan /gerakan atau gesturenya (bahasa tubuhnya).
2. Pengembangan Perbendaharaan kata-kata anak berkembang dimulai secara lambat pada usia dua tahun pertama, kemudian mengalami tempo yang cepat pada usia pra-sekolah dan terus meningkat setelah anak masuk sekolah.
3. Penyusunan Kata-kata menjadt kalimat, kemampuan menyusun kata-kata menjadi kalimat pada umumnya berkembang sebelum usia dua tahun. Bentuk kalimat pertama adalah kalimat tunggal (kalimat satu kata) dengan disertai: “gesture” untuk melengkapi cara benpikirnya.
4. Ucapan. Kemampuan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dan orang lain (terutama orangtuanya). Pada usia bayi, antara 11-18 bulan, pada umumnya mereka belum dapat berbicara atau mengucapkan kata-kata secara jelas, sehingga sering tidak dimengerti maksudnya. Kejelasan ucapan itu baru tercapai pada usia sekitar tiga tahun. Hasil studi tentang suara dan kombinasi suara menunjukkan bahwa anak mengalami kemudahan dan kesulitan dalam huruf-huruf tertentu.
Ada dua tipe perkembangan bahasa anak, yaitu sebagai berikut.
1. Eqocentric Speech
2. Socialized Speech, yang terjadi ketika berlangsung kontak antara anak dengan temannya atau dengan lingkungannya. Perkembangan ini dibagi ke dalam lima bentuk: (a) adapted information, di sini terjadi saling tukar gagasan atau adanya tujuan bersama yang dicari, (b)critism, yang menyangkut penilaian anak terhadap ucapan atau tingkah laku orang lain, (c)command (perintah), request (permintaan) dan threat (ancaman), (d) questions(pertanyaan), dan (e) answers (jawaban).
Berbicara monolog (egocentric speech) berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak yang pada umumnya di lakukan oleh anak berusia 2-3 tahun; sementara yang “sociaized speech” mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial (social adjustment).
Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut yaitu:
1. Faktor Kesehatan. Kesehatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak, terutama pada usia awal kehidupannya. Apabila pada usia dua tahun pertama, anak mengalami sakit terus-menerus, maka anak tersebut cenderung akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasanya. Oleh karena itu, untuk memelihara perkembangan bahasa anak secara normal, orangtua perlu memper hatikan kondisi kesehatan anak. Upaya yang dapat ditempuh adalah dengan cara memberikan ASI, makanan yang bergizi, memelihara kebersihan tubuh anak atau secara reguler memeriksakan anak ke dokter atau ke puskesmas.
2. Inteligensi Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari tingkat inteligensinya. Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai inteligensi normal atau di atas normal.).
3. Status Sosial Ekonorni Keluarga. Beberapa studi tentang hubungan antara perkembangan bahasa dengan status sosial ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasa dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar (keluarga miskin diduga kurang memperhatikan perkembangan bahasa anaknya), atau kedua-duanya (Hetzer & Reindorf dalam E. Hurlock. 1956).
4. Jenis kelamin (Sex). Pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara pria dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dari anak pria.
5. Hubungan Keluarga. Hubungan ini dimaknai sebagai proses pengalaman berinteraksi dan berkomunikasi dengan lingkungan keluarga, terutama dengan orangtua yang mengajar, melatih dan memberikan contoh berbahasa kepada anak.
6.2.2  Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
Istilah “cognitive” berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti yang luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).
Sebagian besar psikolog terutama kognitivis (ahli psikologi kognitif) berkeyakinan bahwa proses perkembangan kognitif manusia mulai berlangsung sejak ia baru lahir. Bekal dan modal dasar perkembangan manusia, yakni kapasitas motor dan kapasitas sensori seperti yang telah penyusun uraikan di muka, ternyata sampai batas tertentu, juga dipengaruhi oleh aktivitas ranah kognitif. Pada poin 1 bagian ini telah penyusun utarakan, bahwa campur tangan sel-sel otak terhadap perkembangan bayi baru dimulai setelah ia berusia 5 bulan saat kemampuan sensorinya (seperti melihat dan mendengar) benar-benar mulai tampak.
Menurut para ahli psikologi kognitif, pendayagunaan kapasitas ranah kognitif sudah mulai berjalan sejak manusia itu mulai mendaya unakan kapasitas motor dan sensorinya. Hanya, cara dan intensitas pendayagunaan kapasitas ranah kognitif tersebut tentu masih belum jelas benar. Argumen yang dikemukakan para ahli mengenai hal mi antara lain ialah bahwa kapasitas sensori dan jasmani seorang bayi yang baru lahir tidak mungkin dapat diaktifkan tanpa aktivitas pengendalian sel-sel otak bayi tersebut. Sebagai bukti, jika seorang bayi lahir dengan cacat atau berkelainan otak, kecil sekali kemungkinan bayi tersebut dapat mengotomatisasikan refleks-refieks motorde dan daya-daya sensorinya. Otomatisasi refleks dan sensori, menurut para ahli, tidak pernah terlepas sama sekali dan aktivitas ranah kognitif, sebab pusat refleks sendiri terdapat dalam otak, sedangkan otak adalah pusat ranah kognitif manusia.
Selanjutnya, seorang pakar terkemuka dalam disiplin psikologi kognitif dari anak, Jean Piaget (sebut: Jin Piasye), yang hidup antara tahun 1896 sampai tahun 1980, mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan.
1. Tahap sensory-motor yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun.
2. Tahap pre-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun.
3. Tahap concrete-operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun
4. Tahap formal-operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun (Daehler & Bukatko, 1985; Best, 1989; Anderson, 1990).
Istilah-istilah khusus dan arti-artinya yang berhubungan dengan prose perkembangan kognitif anak versi Piaget tersebut:
1. Sensory-motor schema (skema sensori-motor) ialah sebuah atau serangkaian perilaku terbuka yang tersusun secara sistematis untuk merespons lingkungan (barang, orang, keadaan, kejadian).
2. Cognitive schema (skema kognitif), ialah perilaku tertutup berupa tatanan langkah-langkah kognitif (operations) yang berfungsi memahami apa yang tersirat atau menyimpulkan lingkungan yang direspons.
3. Object permanance (ketetapan benda) yakni anggapan bahwa sebuah benda akan tetap ada walaupun sudah ditinggalkan atau tidak dilihat lagi;
4. Assimilation (asimilasi), yakni proses aktif dalam menggunakan skema untuk merespons lingkungan.
5. Accomodation (akomodasi), yakni penyesuajan aplikasi skema yang cocok dengan lingkungan yang direspons.
6. Equilibrium (ekuilibrium), yakni keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil ketepatan akomodasi.
Terdapat hubungan yang amat erat antara perkembangan bahasa dan perilaku kognitif. Taraf-taraf penguasaan keterampilan berbahasa dipengaruhi, bahkan bergantung pada tingkat-tingkat kematangan dalam kemampuan intelektual. Sebaliknya, bahasa merupakan sarana dan alat yang strategis bagi lajunya perkembangan perilaku kognitif. Perkembangan fungsi-fungsi dan perilaku kognitif itu menurut Loree.(1970:77), dapat dideskripsikan dengan dua cara dua ialah secara kualitatif dan secara kuantitatif.
(1) Perkembangan Fungsi-Fungsi Kognitif secara Kuantitatif perkembangan fungsi-fungsi kognitif secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan basil laporan berbagai studi pengukuran dengan menggunakan tes inteligensi sebagai alat ukurnya, yang dilakukan secara longitudinal terhadap sekelompok subjek dan sampai ke tingkatan usia tertentu (3-5 tahun sampai usia 30-35 tahun, misalnya) secara test-retest yang alat ukurnya disusun secara sekuensial (Standford Revision Binet Test). Dengan menggunakan hasil pengukuran tes yang rnencakup General Information and Verbal Analogies, Jones and Conrad (Loree, 1970:78) telah mengembangkan sebuah kurva perkembangan inteligensi, yang dapat ditafsirkan antara lain sebagai berikut.
(a) Laju perkembangan inteligensi berlangsung sangat pesat sampai ,masa remaja awal, setelah itu kepesatan nya berangsur menurun.
(b) Puncak perkembangan pada umumnya dicapai di penghujung masa remaja akhir (sekitar usia dua puluhan); perubahan-perubahan yang amat tipis sampai usia 50 tahun, setelah itu terjadi plateau (mapan) sampai usia 60 tahun, untuk selanjutnya berangsur menurun (deklinasi).
(c) Terdapat variasi dalam saatnya dan laju kecepatan deklinasi menurut jenis-jenis kecakapan khusus tertentu.
(2) Perkembangan Perilaku Kognitif secara Kualitatif
Piaget membagi proses perkembangan fungsi dan peri itu ke dalam empat tahapan utama yang secara kualitatif setiap tahapan menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda.
(a) Sensorimotor period (0,0 - 2,0). Periode ini ditandai penggunaan sensorimotorik (dalam pengamatan penginderaan) yang intensif terhadap dunia sekitar. Prestasi intelektual yang dicapai dalam periode ini ialah perkembangan bahasa, hubungan tentang obyek kontrol skema, kerangka berpikir, pembentukan pengertian, pengenalan hubungan sebab-akibat. Perilaku kognitif tampak antara lain:
(1) menyadari dirinya berbeda dan benda-benda sekitarnya;
(2) sensitive terhadap rangsangan suara dan cahaya;
(3) mencoba bertahan pada pengalaman-pengalaman yang menarik;
(4) mendefinisikan objek/benda dengan manipulasinya;
(5) mulai memahami ketetapan makna suatu objek meskipun lokasi dan posisinya berubah.
(b) Preoperational. period (2,0 - 7,0). Periode ini terbagi ke dalam dua tahapan ialahpreconceptual (2,0-4,0) dan intuitive (4,0 - 7,0). Periode preconceptual ditandai dengan cara berpikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi tentang sesuatu yang khusus; sapi disebut juga kerbau). Periode intuitif ditandai oleh dominasi pengamatan yang bersifat egocentric (belum memahami cara orang lain memandang objek yang sama), seperti searah (selancar). Perilaku kognitif yang tampak antara lain:
(1) self-centered dalam memandang dunianya;
(2) dapat mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu ciri tertentu yang memiliki ciri yang sama, mungkin pula memiliki perbedaan dalam hal yang lainnya;
(3) dapat melakukan koleksi benda-benda berdasarkan suatu ciri atau kriteria tertentu;
(4) dapat menyusun benda-benda, tetapi belum dapat menarik inferensi dan dua benda yang tidak her sentuhan meskipun terdapat dalam susunan yang sama.
(c) Concrete erational (7,0 - 11 or 12,0)
Tiga kemampuan dan kecakapan yang baru yang menandai periode ini, ialah: rnengklasifikasikan angka-angka atau bilangan. Dalam periode mi anak mulai pula mengkonservasi pengetahuan tertentu. Perilaku kognitif yang tampak pada periode ini ialah kemampuannya dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika meskipun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret.
(d) Formal operational period (11,0 or 12,0 - 14,0 or 15,0)
Periode ini ditandai dengan kernampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal yang tidak terikat lagi oleh objek-objek yang bersifat konkrit. Pen laku kognitif yang tampak pada kita antara lain:
(1) kemampuan berpikir hipotetis-deduktif (hypothetico-deductive thinking);
(2) kemampuan mengembangkan suatu kemungkinan berdasarkan dua atau lebih kemungkinan yang ada (a combinational analysis);
(3) kemampuan mengembangkan suatu proporsi atau dasar proporsi-proporsi yang diketahui (proportional thinking);
(4) kemampuan menarik generalisasi dan inferensasi dan berbagai kategori objek yang beragam.
Tokoh lain yang melakukan studi terhadap masalah ini secara mendalam ialah Jerome Bruner (1966) ia membagi proses perkembangan perilaku kognitif ke dalam tiga periode ialah:
(1) enactive stage, merupakan suatu masa ketika individu berusaha memahami lingkungannya. tahap mi mirip dengan sensorimotor period dan Piaget;
(2) iconic stage, yang mendekati kepada preoperational period dan Piaget; dan
(3) symbolic stage, yang juga mendekati ciri-ciri formal operational periode dan Piaget.
Dari telaahan kita terhadap perkembangan bahasa dan perilaku serta fungsi-fungsi kognitif itu, jelaslah mempunyai implikasi yang sangat penting bagi pengernbangan sistem dan praktik pendidikan seperti yang disarankan oleh Gage & Berliner (1975:375-378), antara lain para pendidik seyogianya mampu untuk melaksanakan hal-hal berikut:
(1) intellectual empathy;
(2) using concrete objects;
(3) using inductive approach;
(4) sequencing instruction;
(5) taking amount of fit of new experience;
(6) applying student self-regulation principles;
(7) developing cognitive values of interaction.
6.3 Perkembangan Perilaku Sosial dan Moralitas
6.3.1 Perkembangan Perilaku sosial
Secara potensial (fitriah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon), kata Plato. Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain (ingat kisah Singh Zingh di India dan Itard di Perancis, bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak dapat dididik kembali untuk menjadi manusia biasa).
1) Proses sosialisasi dan perkembangan sosial
Secepat individu menyadari bahwa di luar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogianya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi makhluk sosial ini disebut sosialisasi.
Loree (1970:86) dengan menyitir pendapat English & English (1958) menjelaskan lebih lanjut bahwa sosialisasi itu merupakan suatu proses di mana individu (terutama anak) melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelornpoknya); belajar bergaul dengan dan bertingkah laku seperti orang lain, bertingkah laku di dalam lingkungan sosio-kulturalnya.
Perkembangan sosial, dengan demikian dapat diartikan sebagai sequence dari perubahan yang bersinambungan dalam perilaku individu untuk menjadi rnakhluk sosial yang dewasa. Charlotte Buhier mengidentifikasikan perkembangan sosial ini dalam term kesadaran hubungan aku engkau atau hubungan subjektif-objektif. Proses perkembangannya berlangsung secara berirama.
2) Kecenderungan Pola Orientasi Sosial
Branson (Loree, 1970:87-89) mengidentifikasi berdasarkan hasil studi longitudinalnya terhadap anak usia 5-16 tahun bahwa ada tiga pola kecenderungan sosial pada anak, ialah (1) withdrawal-expansive, (2) reactivity-placidity dan passivity-dominance. Kalau seseorang telah memperhatikan orientasinya pada salah satu pola tersebut, maka cenderung diikutinya sampai dewasa.
6.3.2 Perkembangan Moralitas
1. Perkembangan Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin “mos” (Moris), yang berarti adat istiadat peraturan/nilai-nilai atau tatacara kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral itu, seperti (a) seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, dan (b) larangan mencuri, berzina, membunuh, meminum minuman keras dan berjudi. Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah laku tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tingi kelompok sosialnya.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan Anak memperoleh nilai-nilai moral dan lingkungannya dan orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan Perkembangan moral anak, di antaranya sebagai berikut.
a. Konsisten dalam rnendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu ke pada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.
b. Sikap orangtua dalarn keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah dan ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi) Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada din anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten
6.4 Perkembangan Kepribadian
6.4.1. Pengertian Kepribadian
Istilah kepribadian merupakan terjemahan dan Bahasa Inggris “personality” secara etimologis berasal dan bahasa Latin “person” (kedok) dan “personare” (menembus). Persona biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan satu bentuk tingkah laku dan karakter pribad Sedangkan yang dimaksud dengan personare adalah bahwa pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya berusaha menembus keluar untuk mengekspresikan satu bentuk gambaran manusia tertentu. Misalnya; seorang pemurung, pendiam, periang, peramah, pemarah, dan sebagainya. Jadi persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran pribadi dan tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang dipakainya.
Kepribadian dapat juga diartikan sebagai “kualitas perilaku individu yang tampak dalam melakukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan secara unik” Keunikan penyesuaian tersebut sangat berkaitan dengan aspek-aspek kepribadian itu sendiri, yaitu meliputi hal-hal berikut.
1) Karakter, yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten atau teguh tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
2) Temperamen, yaitu disposisi reaktif seseorang, atau cepat/lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan
3) Sikap terhadap objek (orang, benda, peristiwa, norma dan sebagainya) yang bersifat positif, negatif atau ambivalen (ragu-ragu).
4) Stabilitas emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dan lingkungan. Seperti: mudah tidaknya tersinggung marah, sedih atau putus asa.
5) Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima risiko dan tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti: mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri risiko yang dihadapi.
6) Sosiabilitas, yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Disposisi ini seperti tampak dalam sifat pribadi yang tertutup atau terbuka; dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.


BAB VII
DINAMIKA PERILAKU INDIVIDU
7.1 Pengertian
Dinamika adalah gerak secara terus–menerus yang menimbulkan perubahan, baik mengarah pada hal yang positif bahkan kepada hal yang negatif. Sedangkan perilaku menurut Lewin adalah interaksi yang tampak pada individu dan lingkungannya (Psikologi Umum, 2003: 197). Pengertian lain dari perilaku adalah serentetan kegiatan atau perubahan dalam ruang hidup. Berdasarkan berbagai pengertian tersebut disimpulkan bahwa dinamika perilaku adalah suatu aktivitas manusia yang merupakan manifestasi dari jiwa manusia dan dipengaruhi oleh aspek-aspek yang ada pada diri manusia dan aspek-aspek di luar manusia yang bisa terbentuk dari proses belajar, imitasi dan pembiasaan, sehingga menimbulkan perubahan di setiap masanya.
7.2 Interaksi Individu
Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara antara individu manusia dengan individu lainnya, antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dan individu. Interaksi sosial dilandasi oleh beberapa faktor, baik dari dalam diri manusia itu sendiri maupun dari luar.
1. Faktor dari dalam manusia meliputi:
  • Dorongan kodrati sebagai makhluk sosial
  • Dorongan untuk memenuhi kebutuhan
  • Dorongan untuk mengembangkan diri
2. Faktor dari luar manusia
Imitasi : proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain melalui sikap, penampilan, gaya hidupnya, bahkan apa saja yang dimiliki orang lain. Imitasi bisa membawa dampak positif dan negatif, tergantung dari yang ditiru.
Identifikasi : upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain yang ditirunya.
Sugesti : rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan seorang individu kepada individu lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberikan sugesti tersebut menuruti apa yang disugestikannya tanpa berfikir lagi secara kritis dan rasional (bersifat negatif).
Motivasi : rangsangan, pengaruh atau stimulus yang diberikan seorang individu kepada individu lainnya sedemikian rupa, sehingga orang yang diberikan motivasi tersebut menuruti apa yang dimotivasikan secara kritis, rasional, dan penuh rasa tanggung jawab (bersifat positif).
Simpati : suatu proses kejiwaan, di mana seorang individu merasa tertarik kepada seseorang atau sekelompok orang, karena sikapnya, penampilannya, wibawanya, atau perbuatannya yang sedemikian rupa.
Empati: mirip dengan simpati, tapi tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja tapi dibarengi perasaan yang sangat dalam.
7.3 Penyesuaian Diri Individu
Menurut Kartono (2000), penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga permusuhan, kemarahan, depresi, dan emosi negatif lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis. Hariyadi, dkk (2003) menyatakan penyesuaian diri adalah kemampuan mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan atau dapat pula mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan atau keinginan diri sendiri. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah proses mengubah diri sesuai dengan norma atau tuntutan lingkungan dimana dia hidup agar dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi dan konflik sehingga tercapainya keharmonisan pada diri sendiri serta lingkungannya dan akhirnya dapat diterima oleh kelompok dan lingkungannya.
7.3.1 Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Menurut Fatimah (2006) penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu sebagai berikut:
1.)    Penyesuaian pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang untuk menerima diri demi tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyatakan sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dalam mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Pada aspek ini, keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai oleh:
  • Tidak adanya rasa benci,
  • Tidak ada keinginan untuk lari dari kenyataan atau tidak percaya pada potensi dirinya.
Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai oleh:
  • Kegoncangan emosi
  • Kecemasan
  • Ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya sebagai akibat adanya jarak pemisah anatara kemampuan individu dan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungannya.
2.)    Penyesuaian sosial
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinterakasi dengan orang lain. Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebaya, atau anggota masyarakat luas secara umum.
Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda lalu berusaha untuk mematuhinya, sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya.
7.3.2 Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri
Menurut Sunarto dan Hartono (1995) terdapat bentuk-bentuk dari penyesuaian diri, yaitu:
1.      Penyesuaian diri positif ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
  • Tidak adanya ketegangan emosional.
  • Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
  • Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi.
  • Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
  • Mampu dalam belajar.
  • Menghargai pengalaman.
  • Bersikap realistik dan objektif.
Dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
  • Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung. Individu secara langsung menghadapi masalah dengan segala akibatnya. Misalnya seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada guru.
  • Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan). Individu mencari bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misal seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan sebagainya.
  • Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba. Individu melakukan suatu tindakan coba-coba, jika menguntungkan diteruskan dan jika gagal tidak diteruskan.
  • Penyesuaian dengan substitusi atau mencari pengganti. Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya gagal nonton film di gedung bioskop, dia pindah nonton TV.
  • Penyesuaian dengan menggali kemampuan pribadi. Individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misal seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menulis (me-ngarang), dari usaha mengarang ia dapat membantu mengatasi kesulitan dalam keuangan.
  • Penyesuaian dengan belajar. Individu melalui belajar akan banyak memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misal seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang berbagai pengetahuan keguruan.
  • Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri. Individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut inhibisi. Selain itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.
  • Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat. Individu mengambil keputusan dengan pertimbangan yang cermat dari berbagai segi, antara lain segi untung dan ruginya.
2.      Penyesuaian diri yang salah
Penyesuaian diri yang salah ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya.
Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah yaitu:
·         Reaksi bertahan (defence reaction)
Individu berusaha untuk mempertahankan diri, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
    • Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya.
    • Represi, yaitu berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan. Misalnya seorang pemuda berusaha melupakan kegagalan cintanya dengan seorang gadis.
    • Proyeksi, yaitu melempar sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya seorang siswa yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci dirinya.
    • Sour grapes (anggur kecut), yaitu dengan memutarbalikkan kenyataan. Misalnya seorang siswa yang gagal mengetik, mengatakan bahwa mesin tik-nya rusak, padahal dia sendiri tidak bisa mengetik.
·         Reaksi menyerang (aggressive reaction)
Reaksi-reaksi menyerang nampak dalam tingkah laku : selalu membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam setiap situasi, mau memiliki segalanya, bersikap senang mengganggu orang lain, menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, menunjukkkan sikap permusuhan secara terbuka, menunjukkan sikap menyerang dan merusak, keras kepala dalam perbuatannya, bersikap balas dendam, memperkosa hak orang lain, tindakan yang serampangan, marah secara sadis.
·         Reaksi melarikan diri (escape reaction)
Reaksi melarikan diri, nampak dalam tingkah laku seperti berfantasi, yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan, banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika, dan regresi yaitu kembali kepada tingkah laku yang tipis pada tingkat perkembangan yang lebih awal, misalnya orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil, dan lain-lain.
7.4 Motivasi Individu
Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan seseorang ke arah suatu tujuan. Motivasi dapat membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mampu mempertahankan perilaku. Menurut seorang profesor di Universitas Wesleyan, David Clarence McClelland (1917-1998), di dalam bukunya yang berjudul ‘The Achieving Society‘, dia mengemukakan bahwa setiap individu mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi tersebut dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia. Di dalam teorinya , dia memfokuskan motivasi / dorongan dalam 3 kebutuhan, yaitu:
1. Motivasi dalam kebutuhan akan prestasi
Kebutuhan akan prestasi merupakan dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar, bergulat untuk sukses. Ciri-ciri inidividu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.
2. Motivasi dalam kebutuhan akan kekuasaan
Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain. Setiap individu yang memiliki motivasi dalam kekuasaan akan terlihat lebih bekerja keras, bertanggungjawab, dan sudah pasti akan melakukan segala sesuatunya dengan kemampuannya yang terbaik. Hal ini akan memicu semangatnya untuk mendapatkan suatu penghargaan dan harapan yang ingin diraihnya.
3.      Motivasi kebutuhan untuk berafiliasi atau bersahabat
Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
Motivasi sudah jelas sangat diperlukan dalam diri setiap orang, selain untuk menghilangkan kejenuhan, juga untuk bisa meraih segala sesuatu yang dicita-citakannya. Motivasi / dorongan harus selalu tumbuh dalam setiap individu. Untuk itu, ada dua sumber motivasi yaitu motivasi internal dan motivasi eksternal.
·     Motivasi Internal yaitu motivasi dari dalam diri, dari perasaan dan pikiran diri sendiri, tidak perlu adanya rangsangan dari luar. Orang yang memiliki motivasi internal, akan memandang dirinya secara positif. Sebagai contoh, seseorang yang melakukan aktivitas belajar secara terus menerus tanpa adanya motivasi dari luar dirinya dan bila ditinjau dari segi tujuan kegiatannya, orang tersebut ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan belajar itu sendiri, misal karena ingin mendapatkan pengetahuan, bukan karena tujuan yang lain.
·         Motivasi eksternal yaitu motivasi dari luar atau mendapatkan rangsangan dari luar. Sebagai contoh, motivasi seseorang timbul karena dari bacaan yang memotivasi, lingkungan, atau dari kehidupan keseharian. Sehingga bila ditinjau dari segi tujuannya orang tersebut tidak langsung terjun didalam apa yang dilakukannya. Hal ini sangat diperlukan bagi orang yang tidak memiliki motivasi internal, misalnya dengan mendapat dukungan dari orangtua, termotivasi untuk mendapatkan hasil atau nilai yang baik karena pengaruh lingkungannya.
7.5 Penolakan Individu
Penolakan individu terhadap situasi sosialnya terjadi karena beberapa hal:
a. Kebiasaan
Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu, karena kita merasa nyaman, menyenangkan. Bangun pukul 5 pagi, ke kantor pukul 7, bekerja, dan pulang pukul 4 sore. Istirahat, nonton TV, dan tidur pukul 10 malam. Begitu terus kita lakukan sehingga terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan.
b. Rasa Aman
Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai.
c.Faktor Ekonomi
Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah soal menurunnya pendapatan. Misalkan pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena akan kehilangan upah lembur.
d. Takut akan Sesuatu Yang Belum Diketahui
Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan keragu-raguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan.
e. Persepsi
Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.




BAB VIII
KEHIDUPAN REMAJA DALAM KELOMPOK SOSIAL

8.1 Kelompok Sosial
Kelompok social adalah kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Kelompokdiciptakan oleh anggota masyarakat.Kelompok juga dapat memengaruhi perilaku para anggotanya.Menurut Robert Bierstedt, kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasarkan ada tidaknya organisasi, hubungan social antara kelompok, dan kesadaran jenis. Bierstedt kemudian membagi kelompok menjadi empat macam:
  • Kelompok statistik, yaitu kelompok yang bukan organisasi, tidak memiliki hubungan social dan kesadaran jenis di antaranya. Contoh: Kelompok penduduk usia 10-15 tahun di sebuah kecamatan.
  • Kelompok kemasyarakatan, yaitu kelompok yang memiliki persamaan tetapi tidak mempunyai organisasi dan hubungan sosial di antara anggotanya.
  • Kelompok sosial, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lainnya, tetapi tidak terIkat dalam ikatanorganisasi. Contoh: Kelompok pertemuan, kerabat.
  • Kelompok asosiasi, yaitu kelompok yang anggotanya mempunyai kesadaran jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi maupun kepentingan bersama. Dalam asosiasi, para anggotanya melakukan hubungan sosial, kontak dan komunikasi, serta memiliki ikatan organisasi formal. Contoh: Negara, sekolah.
8.2 Remaja dalam Kelompok Statistik
            Pada kelompok statistic perilaku remaja digolongkan berdasarkan usianya. Misalnya remaja umur 13-15 tahun cenderung menirukan gaya idolanya (imitasi).
8.3 Remaja dalam Masyarakat
            Lingkungan masyarakat menjadi factor paling dominan dalam memengaruhi sikap dan perilaku remaja.Masyarakat yang kondisinya baik, warga baik, maka perilaku remaja dalam masyarakat tersebut pasti baik. Hal ini karena norma dan nilai dalam masyarakat tersebut ditanamkan kuat sehingga seorang anak yang melakukan penyimpangan social pasti akan malu.
8.4 Remaja dalam Kelompok Sosial
            Remaja juga manusia artinya dia juga makhluk sosial yang membutuhkan teman untuk berinteraksi maupun untuk memenuhi kebutuhannya.Dalam kelompok social remaja menghabiskan waktu untuk bermain, hal ini disebabkan oleh adanya keinginan mengikuti tren, yang tidak mungkin didapatkan pada kelompok usia diatasnya maupun dibawahnya.
8.5 Remaja dalam Kelompok Asosiasi
            Remaja tergolong usia pelajar, sehingga bagi remaja yang mampu bersekolah termasuk dalam kelompok asosiasi, yakni kelompok yang berstatus formal. Pada era dewasa ini masalah yang timbul di sekolah adalah kecenderungan hanya mencari teman dan kewajiban belajar dinomorduakan. Hal ini termasuk penyimpangan kewajiban, namun kejadian tersebut tidak dapat dipungkiri lagi, karena remaja membutuhkan teman untuk bercerita dan pola piker remaja masih dalam proses transisi menuju dewasa.



BAB IX
KEHIDUPAN PRIBADI DAN PENDIDIKAN REMAJA
            Sebagai makhluk psiko-sosial manusia memiliki kebutuhan fisik dan psikologis, dan sebagai makhluk individu dan sosial, manusia memiliki kebutuhan pribadi dan kebutuhan hidup bersama. Dengan demikian maka setiap individu mempunyai kebutuhan untuk mencapai kondisi fisik dan sosial psikologis yang lebih sempurna dalam kehidupannya.
            Dalam kehidupan pribadi, pada umumnya individu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan dibedakan menjadi dua, yakni kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan biologis dan umumnya didorong oleh motif asli, misalnya bernafas, makan, minum, dan kehangatan tubuh. Pada masa remaja kebutuhan primer ini bisa bertambah, yaitu kebutuhan seksual (Menurut Dr. Sumarmi, M. pd).Sedangkan kebutuhan sekunder, umumya kebutuhan untuk mengejar pengetahuan, mengikuti kemajuan jaman, kebutuhan hiburan, dan semacamnya.
9.1 Kehidupan Pribadi Remaja
            Remaja merupakan proses transisi menuju dewasa. Pada masa ini individu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dirinya. Pada penjabaran diatas telah dijelaskan bahwa kebutuhan ada dua yakni primer dan sekunder. Namun pada bagian ini akan dijelaskan mengenai pemenuhan kebutuhan sekunder, yakni mencangkup hiburan, eksplorasi potensi, keinginan mengikuti perkembangan jaman, dan semacamnya.
            Pikiran remaja pada umumnya teromabang-ambing, ia tahu yang benar namun sulit melakukannya, misalnya berbuat jujur. Nilai kejujuran sebenarnya sederhana, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Contoh, seorang anak meminta uang saku lebih pada orang tuanya dengan alasan untuk bayar iuran, tetapi kenyataannya digunakan untuk bersenang-senang. Peristiwa tersebut sering terjadi, dan dalam kasus ini orang tua jarang mencurigai.
            Demi perkembangan masa depan cerah, remaja juga memiliki minat untuk mengembangkan bakatnya. Misalnya anak yang suka sepak bola ia akan berlatih sepak bola dengan serius. Dan tak jarang mereka unjuk kebolehan untuk mendapatkan pujian. Remaja senang mendapatkan pujian. Apalagi mendapatkan pujian dari lawan jenisnya. Hal ini dikarenakan di masa remaja terjadi kematangan seksual, sehingga ia ingin merasakan kasih sayang dari lawan jenis yang sebaya.
9.2 Remaja dan Pendidikan
            Pendidikan sangat penting bagi remaja, karena dengan pendidikan pola pikir remaja menjadi rasional, sehingga diharapkan remaja bisa mengontrol emosionalnya. Arti pendidikan tidak sekedar membentuk peserta didik untuk dapat menjadi ahli dalam ilmu pengetahuan, lebih dari itu diharapkan peserta didik mampu hidup dengan baik, bermoral, berakhlak mulia, dan tidak terjerumus dalam pergaulan bebas. Bagi remaja bekal pendidikan di sekolah sebaiknya diterapkan dalam hidup, dan tidak hanya berhenti sebagai teori belaka, sebab remaja merupakan penerus bangsa.
            Pada era modern ini masalah yang timbul dalam dunia pendidikan remaja adalah penyalahgunaan teknologi, misalnya penggunaan alat komunikasi yang abnormal sehingga remaja lupa akan kewajibannya sebagai pelajar. Konkretnya, sms-an dengan “teman” sampai lupa waktu, lalai akan kewajibannya; Ada pula yang main game dan lupa kalau ada tugas dari gurunya. Sebaiknya dalam hidup sehari-hari ada manajemen waktu yang baik dan konsekuen dilaksanakan, sehingga tahu waktu kapan harus belajar, kapan harus menghibur diri dan kapan waktu untuk sharing. Dalam bahasa latin ada istilah “Omnia tempus habent”, yang artinya semua ada waktunya. Mengatur waktu tidaklah sulit sebab dalam satu hari setiap makhluk hidup diberi waktu sama 24 jam. Dengan manajemen waktu yang baik tugas dapat diselesaikan dan pengembangan diri tetap dapat berjalan.


BAB X
PENYESUAIAN DIRI REMAJA
            Penyesuaian diri merupakan usaha manusia untuk mencapai keharmonisan dengan lingkungangannya. Dalam bahasan disini difokuskan pada penyesuaian diri remaja dengan lingkungannya. Lingkungan hidup remaja dapat dianggap sebagai suatu arena dimana remaja dituntut untuk mampu bermain di arena hidupnya.
10.1 Arena-arena Penyesuaian Diri Remaja
            Arena penyesuaian diri remaja dibagi menjadi empat, yakni Keluarga, Kelompok Sosial Terdekat, Sekolah, dan Masyarakat. Berikut akan dijelaskan satu per satu.
1.      Penyesuaian Diri di Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Di dalam keluarga berlaku norma-norma kehidupan keluarga, dan dengan demikian pada dasarnya keluarga merekayasa perilaku kehidupan budaya anak.
 Proses pendidikan yang bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga. Pola pergaulan dan bagaimana norma dalam menempatkan diri terhadap lingkungan yang lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.
            Dalam penyesuaian diri di keluarga remaja menyelaraskan sikap dan tindakannya dengan pola-pola asuhan orang tuanya. Menurut Sunarto dan B. Agung Hartono (1994: 191) ada empat jenis yaitu:
1.      Menerima remaja dengan baik
2.      Menegakkan disiplin yang berlebihan
3.      Memanjakan dan melindungi remaja secara berlebihan, dan
4.      Menolak keberadaan anak (remaja) di rumah.
Dari ke empat pola di atas tampaknya pola asuhan pertama menerima remaja dengan baik membawa dampak positif bagi remaja di keluarga, karena tumbuh suasana bimbingan yang hangat dan aman bagi remaja. Pola kedua menegakkan disiplin yang berlebihan membuat sikap jiwa yang tegang, dan takut. Pola ketiga memanjakan dan melindungi remaja secara berlebihan dapat membuat anak canggung dan tidak percaya diri. Sedangkan pola ke empat, menolak keberadaan anak menimbulkan hambatan-hambatan dalam penyesuaian diri remaja, misalnya remaja bersikap eksklusif terhadap berbagai macam bentuk pergaulan sosial.
Penyesuaian diri remaja di keluarga pada umumnya tidak selalu berjalan lancer sekalipun orang tua menggunakan pola asuhan pertama. Hal ini karena di dalam masa remaja timbul masa negativism, yaitu remaja cenderung otoritas orang tua dalam mengarahkan hidupnya.
  1. Penyesuaian Diri di Kelompok Sosial Terdekat
Kelompok social terdekat disini adalah pergaulan remaja dengan teman-teman sebayanya  . di dalam kelompok ini remaja berusaha untuk menerima penerimaan social dari kelompoknya. Windradini (1995) mengemukakan beberapa factor yang mempengaruhi penerimaan social terhadap remaja, diantaranya:
1.      Kesan pertama yang menwan: jalan kearah popularitas remaja.
2.      Penampilan yang menarik.
3.      Reputasi: remaja laki berani dan perempuan feminism
4.      Kesehatan: energik atau tidak.
5.      Intelegensi, dan lain-lain.
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penerimaan social remaja, tetapi sebagian besar remaja belum menguasai factor tersebut.
3.      Penyesuaian Diri di Sekolah
Secara universal sekolah dapat dikatakan sekolah mempunyai misi menjadikan remaja sebagai manusia terpelajar. Penuaian fungsi ini tidak mudah dilaksanakan. Terlepas dari masalah fungsi tersebut banyak kalangan diakui bahwa sekolah adalah suatu arena menuntut ilmu.
Bagi remaja yang memiliki motivasi belajar tinggi maka penyesuaian sosialnya besar sekali. Remaja bias popular disekolah karena prestasinya. Dan banyak guru yang segan padanya.
4.      Penyesuaian di Masyarakat
Masyarakat akan menerima warganya dengan baik apabila seorang warga dapat berperilaku sesuai norma yang belaku di Masyarakat. Penyesuaian social remaja di masyakat yang baik diperlukan kondisi masyarakat yang baik. Tanpa terciptanya kondisi masyarakat yang baik, maka pendidikan di keluarga atau di sekolah akan percuma sebab remaja banyak bergaul di masyarakat.
10.2 Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Menurut Fatimah (2006) penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu sebagai berikut:
3.)    Penyesuaian pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang untuk menerima diri demi tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Ia menyatakan sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dalam mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. Pada aspek ini, keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai oleh:
  • Tidak adanya rasa benci,
  • Tidak ada keinginan untuk lari dari kenyataan atau tidak percaya pada potensi dirinya.
Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai oleh:
  • Kegoncangan emosi
  • Kecemasan
  • Ketidakpuasan dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya sebagai akibat adanya jarak pemisah anatara kemampuan individu dan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungannya.
4.)    Penyesuaian sosial
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial di tempat individu itu hidup dan berinterakasi dengan orang lain. Hubungan-hubungan sosial tersebut mencakup hubungan dengan anggota keluarga, masyarakat, sekolah, teman sebaya, atau anggota masyarakat luas secara umum.
Proses yang harus dilakukan individu dalam penyesuaian sosial adalah kemauan untuk mematuhi nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Setiap kelompok masyarakat atau suku bangsa memiliki sistem nilai dan norma sosial yang berbeda-beda. Dalam proses penyesuaian sosial individu berkenalan dengan nilai dan norma sosial yang berbeda-beda lalu berusaha untuk mematuhinya, sehingga menjadi bagian dan membentuk kepribadiannya.
10.3 Bentuk-bentuk Penyesuaian Diri
Menurut Sunarto dan Hartono (1995) terdapat bentuk-bentuk dari penyesuaian diri, yaitu:
1.      Penyesuaian diri positif ditandai dengan hal-hal sebagai berikut:
  • Tidak adanya ketegangan emosional.
  • Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
  • Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi.
  • Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
  • Mampu dalam belajar.
  • Menghargai pengalaman.
  • Bersikap realistik dan objektif.
Dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
  • Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung. Individu secara langsung menghadapi masalah dengan segala akibatnya. Misalnya seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada guru.
  • Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan). Individu mencari bahan pengalaman untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalahnya. Misal seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan sebagainya.
  • Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba. Individu melakukan suatu tindakan coba-coba, jika menguntungkan diteruskan dan jika gagal tidak diteruskan.
  • Penyesuaian dengan substitusi atau mencari pengganti. Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya gagal nonton film di gedung bioskop, dia pindah nonton TV.
  • Penyesuaian dengan menggali kemampuan pribadi. Individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misal seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menulis (me-ngarang), dari usaha mengarang ia dapat membantu mengatasi kesulitan dalam keuangan.
  • Penyesuaian dengan belajar. Individu melalui belajar akan banyak memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misal seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang berbagai pengetahuan keguruan.
  • Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri. Individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut inhibisi. Selain itu, individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.
  • Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat. Individu mengambil keputusan dengan pertimbangan yang cermat dari berbagai segi, antara lain segi untung dan ruginya.
2.      Penyesuaian diri yang salah
Penyesuaian diri yang salah ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya.
Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah yaitu:
·         Reaksi bertahan (defence reaction)
Individu berusaha untuk mempertahankan diri, seolah-olah tidak menghadapi kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
    • Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan untuk membenarkan tindakannya.
    • Represi, yaitu berusaha melupakan pengalamannya yang kurang menyenangkan. Misalnya seorang pemuda berusaha melupakan kegagalan cintanya dengan seorang gadis.
    • Proyeksi, yaitu melempar sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya seorang siswa yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci dirinya.
    • Sour grapes (anggur kecut), yaitu dengan memutarbalikkan kenyataan. Misalnya seorang siswa yang gagal mengetik, mengatakan bahwa mesin tik-nya rusak, padahal dia sendiri tidak bisa mengetik.
·         Reaksi menyerang (aggressive reaction)
Reaksi-reaksi menyerang nampak dalam tingkah laku : selalu membenarkan diri sendiri, mau berkuasa dalam setiap situasi, mau memiliki segalanya, bersikap senang mengganggu orang lain, menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, menunjukkkan sikap permusuhan secara terbuka, menunjukkan sikap menyerang dan merusak, keras kepala dalam perbuatannya, bersikap balas dendam, memperkosa hak orang lain, tindakan yang serampangan, marah secara sadis.
·         Reaksi melarikan diri (escape reaction)
Reaksi melarikan diri, nampak dalam tingkah laku seperti berfantasi, yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan, banyak tidur, minum-minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika, dan regresi yaitu kembali kepada tingkah laku yang tipis pada tingkat perkembangan yang lebih awal, misalnya orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil, dan lain-lain.



BAB XI
KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

            Manusia merupakan peserta didik harus dapat menempatkan diri sebagai pribadi yang utuh. Untuk mencapai keutuhan tersebut diperlukan rangsangan dari luar dirinya, seperti lingkungan tempat tinggal, guru, atau dari orang tuanya. Sehingga terbentuk karakteristik yang khas. Setiap karakteristik peserta didik mengalami perkembangan di berbagai bidang, yaitu:
A. KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN INTELEKTUAL 

Intelegensi atau intelek berarti pikir, sedangkan intelektual bias diartikan sebagai kemampuan kecerdasan. Perbuatan menimbang-nimbang, menguraikan, menghubungkan sampai mengambil keputusan merupakan pengertian dari berpikir. Kecerdasan merupakan kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah secara cepat. 

Anak usia Sekolah Dasar mulai memperhatikan keadaan sekelilingnya secara objektif, mulai ingin mengetahui segala sesuatu, berusaha menambah pengetahuan, kemampuan dan pengalamannya.Mereka senang dengan kegiatan yang menantang, beraktifitas dan banyak gerak. 

Menurut Piaget, anak usia Sekolah Dasar termasuk pada perkembangan operasi konkret. Mereka mampu berpikir secara logis dan kuantitatif, mampu berperilaku objektif dalam mengkaji kejadian. Kemampuan ini terwujud dalam kemampuan mengklasifikasi objek sesuai dengan klasifikasinya, tata urutannya, kemampuan untuk memahami cara pandang orang lain dan kemampuan berfikir deduktif. Mereka mampu untuk memusatkan perhatian pada beberapa atribut dari sebuah benda atau kejadian secara bersama dan mengerti hubungan antar dimensi. 

Percobaan konsevasi Piaget terdiri dari : 

1. Desentrasi dan konservasi, hasilnya anak mempunyai konsep bahwa perubahan pada satu dimensi, dapat dikompensasikan dengan peruban pada dimensi lain. 
2. Seriasi, hasilnya anak dapat mengurutkan benda dari yang terbesar sampai terkecil dan sebaliknya. 
3. Pemikiran rasional, hasilnya anak dapat menyebutkan karakteristik teman-temannya (tinggi, pendek, gemuk, kurus) 
4. Inklusi kelas, hasilnya anak dapat menggambarkan prinsip logis bahwa terdapat hubungan hierarki antar golongan dan dapat mengerti bahwa sifat khusus dari benda dapat termasuk lebih ari satu golongan yang mempunyai hubungan pada suatu saat yang disebut dengan prinsip penggandaan. 

B. KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN BAHASA ANAK 

Untuk bergaul dan berkomunikasi, manusia menggunakan bahasa, baik dalam bentuk tulisan, percakapan, bahasa isyarat maupun ekspresi wajah. 

Untuk berkomunikasi secara efektif prlu memperhatikan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Nilai-nilai tersebut harus diberikan sedini mungkinagar tertanam hal-hal mana yang baik dan buruk, yang boleh atau tidak boleh dilakukan, bagaimana bersilap dan bertutur kata yang baik terhadap orang lain. Pembelajaran nilai-nilai tersebut harus dengan contoh yang konkret agar mudah difahami anak. 

1. Perkembangan Bahasa 

Bentuk komunikasi manusia merupakan yang paling sempurna daripada binatang, karena manusia dapat melakukannya melalui berbagai sarana dan prasarana yang ada. Tiap individu dituntut untuk memiliki kemampuan menyatakan atau mengekspresikan pikirannya dan menangkap pemikiran orang lain melalui bahasa, sehingga komunikasi menjadi efektif. Anak-anak lebih dapat mengerti aa yang dikatakan orang lain daripada mengutarakan pikiran dan perasaan mereka dengan kata-kata. 

Semakin matang organ-organ yang berkaitan dengan proses berbicara seperti alat bicara dan pertumbuhan/perkembangan otak, anak semakin jelas dalam mengutarakan kemauan, pikiran maupun perasaannya melalui ucapan atau bahasa. Hal itu tidak lepas ari pengaruh lingkungan, terutama orang tua atau keluarga. Anak yang selalu mendapat motivasi positif akan terpacu untuk mengembangkan potensi bicaranya. 

2. Fungsi Bicara 

Fungsi bahasa manusia antara lain : 
a. Untuk mengekspresikan perasaan, merupakan kalimat spontan yang terucap tanpa ada tujuan apapun dan kepada siapapun. 
b. Untuk mempengaruhi orang lain, merupakan kalimat batau isyarat yang dapat menyebabkan orang lain terpengaruh. 
c. Untuk menyampaikan informasi, merupakan kalimat untuk menyampaikan informasi atau pemberitahuan kepada oran lain. 

3. Tahap-tahap Bicara 

Sebelum dapat berbicara lancar, ada tahapan yang biasa dilalui seseorang, antara lain : 

Menangis, merupakan cara yang biasa dilakukan oleh bayi untuk berkomunikasi dan melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya. 

Berceloteh, dilakukan oleh anak sebelum usia 2 tahun. 

Holofrase, dilakukan oleh anak setelah usia 2 tahun sampai menjelang sekolah. 

Mengobrol, disebut juga social speech merupakan bentuk berbicara yang mempunyai makna social, bertujuan agar pembicaraannya didengar dan dimengerti oleh orang lain. 

4. Faktor-faktor yang Memeacu Anak Cepat Berbicara 

a. Keluarga 
b. Media Elektronik 
c. Sekolah 

C. PERKEMBANGAN MORAL 

Tingkah laku yang bermoral merupakan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai tata cara/adat yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat. Nilai-nilai moral tersebut tidak sama tergantung dari faktor kebudayaan setempat. Nilai moral merupakan sesuatu yang bukan diperoleh dari lahir melainkan dari luar. 

1. Perkembangan Moral Menurut Beberapa Pakar 

Usia Sekolah Dasar merupakan tahun-tahun imajinasi atau keajaiban bagi anak.Berikut ini pendapat para ahli tentang perkembangan moral. 

a. Menurut Piaget 

Anak usia 5 tahun masih menilai benar dan salah secara kaku, disebut tahap moralitas heteronomous (heteronomous morality). Pada usia sekitar 11 tahun, proses berpikirnya sudah mulai berkembang sehingga penilaian benar dan salah menjadi relatif. 

b. Menurut Kohlberg 

Tingkat pertama, anak mengikuti semua peraturan yang telah ditentukan dengan harapan dapat mengambil hati orang lain dan dapat diterima dalam kelompok (moralitas anak baik).. 

Tahap kedua, anak menyesuaikan diri pada aturan-aturan yang ada dalam kelompok dan disepakati bersama oleh kelompok tersebut (moralitas konvensional atau moralitas dari aturan-aturan). 

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Moral 

Antara lain : 
a. Lingkungan rumah 
b. Lingkungan sekolah 
c. Teman sebaya dan aktivitas 
d. Intelegensi dan jenis kelamin 

D. PERKEMBANGAN AGAMA 

Menurut Zakiah Darajat (dalam Martini Jumaris), agama sebagai dari iman, pikiran yang diserapkan oleh pikiran, perasaan, dilaksanakan dalam tindakan, perbuatan, perkataan dan sikap. Agama merupakan pengarah dan penentu sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. 

Awalnya anak-anak mempelajari agama berdasarkan contoh baik di rumah maupun di sekolah. Bambang Waluyo menyebutkan dalam artikelnya bahwa pendidikan agama di sekolah meliputi dua aspek, yaitu : 1. Aspek pembentukan kepribadian (yang ditujukan kepada jiwa), 2. Pengajaran agama (ditujukan kepada pikiran) 

Metode yang digunakan dalam pembelajaran harus berkaitan erat dengan dimensi perkembangan motorik, bahasa, social, emosional maupun intelegensi siswa. Untuk kelas rendah dapat menggunakan metode bercerita, bermain, karyawisata, demonstrasi atau pemberian tugas. Untuk kelas tinggi dapat menggunakan metode ceramah, bercerita, diskusi, tanya jawab, pemberian tugas atau metode lainnya yang sesuai dengan perkembangan siswa. 


BAB XII
PROBLEMATIKA PERKEMBANGAN REMAJA
12.1 Masa Remaja
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Ia belum siap menghadapi dunia nyata orang dewasa, meski di saat yang sama ia juga bukan anak-anak lagi. Berbeda dengan balita yang perkembangannya dengan jelas dapat diukur, remaja hampir tidak memiliki pola perkembangan yang pasti. Dalam perkembangannya seringkali mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa. Memang banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun seringkali perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Namun satu hal yang pasti, konflik yang dihadapi oleh remaja semakin kompleks seiring dengan perubahan pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka. 
12.2 Konflik Remaja
Berbagai konflik yang dialami oleh remaja:
1. Konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dan kebutuhan untuk bebas dan   merdeka
2.Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan kepada orang tua.
3.Konflik antara kebutuhan seks dan kebutuhan agama serta nilai sosial.
4.Konflik antara prinsip dan nilai-nilai yang dipelajari oleh remaja ketika ia kecil dulu dengan prinsip dan nilai yang dilakukan oleh orang dewasa di lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari.
5.Konflik menghadapi masa depan.

12.3 Kebutuhan Remaja
1. Kebutuhan akan pengendalian diri
2. Kebutuhan akan kebebasan
3. Kebutuhan akan rasa kekeluargaan
4. Kebutuhan akan penerimaan sosial
5. Kebutuhan akan penyesuaian diri
6. Kebutuhan akan agama dan nilai-nilai sosial
12.4 Dimensi
1. Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri atau pun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk ber-reproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, yaitu: 1) Follicle-Stimulating Hormone (FSH); dan 2). Luteinizing Hormone (LH). Pada anak perempuan, kedua hormon tersebut merangsang pertumbuhan estrogen dan progesterone: dua jenis hormon kewanitaan. Pada anak lelaki, Luteinizing Hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cell Stimulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosterone. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut di atas merubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dll. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormon testosterone. Bentuk fisik mereka akan berubah secara cepat sejak awal pubertas dan akan membawa mereka pada dunia remaja.

2. Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.

3. Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka. Remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik, kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dsb. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya “kenyataan” lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap “pemberontakan” remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan alternatif jawaban dari hal-hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir lebih jauh dan memilih yang terbaik. Orangtua yang tidak mampu memberikan penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat sang remaja tambah bingung. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan mulai menajam.
4. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Sebuah penelitian menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Remaja putri akan bersolek berjam-jam di hadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan “hebat”. Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan impulsif sering dilakukan; sebagian karena mereka tidak sadar dan belum biasa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”; berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja.
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah “Siapakah Saya?” Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri (self-awareness) mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa “ia bisa berbeda” dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba – baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Contoh: anak seorang insinyur bisa saja ingin menjadi seorang dokter karena tidak mau melanjutkan atau mengikuti jejak ayahnya. Ia akan mencari idola seorang dokter yang sukses dan berusaha menyerupainya dalam tingkahlaku. Bila ia merasakan peran itu tidak sesuai, remaja akan dengan cepat mengganti peran lain yang dirasakannya “akan lebih sesuai”. Begitu seterusnya sampai ia menemukan peran yang ia rasakan “sangat pas” dengan dirinya. Proses “mencoba peran” ini merupakan proses pembentukan jati-diri yang sehat dan juga sangat normal. Tujuannya sangat sederhana; ia ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri. Ia tidak mau hanya menurut begitu saja keingingan orangtuanya tanpa pemikiran yang lebih jauh.
Banyak orangtua khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya. Kekhawatiran itu memang memiliki dasar yang kuat. Dalam proses “percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja mereka. Pada saat inilah, kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.
Satu hal yang perlu diingat adalah hasil test psikologi untuk remaja sebaiknya tidak ditelah mentah-mentah atau dijadikan patokan yang baku mengingta bahwa masa remaja meruipakan masa yang snagat erat dengan perubahan. Alat test ini tidak semestinya dijadikan buku primbon atau acuan kaku dalam penentuan langkah untuk masa depan, misalnya dalam mencari sekolah atau mencari karir yang cocok. Seringkali, seiring dengan perkembangan remaja dan perubahan lingkungan sekitarnya, konklusi yang diterima dari hasil test bisa berubah dan menjadi tidak relevan lagi. Hal ini wajar mengingat bahwa minat seorang remaja sangat labil dan mudah berubah.
Sehubungan dengan explorasi diri melalui internet atau media massa yang lain, remaja hendaknya berhati-hati dalam menginterpretasikan hasil-hasil yang di dapat dari test-test psikologi online melalui internet. Harap diingat bahwa banyak diantara test tersebut masih sebatas ujicoba dan belum dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu dibutuhkan kejujuran untuk mampu menerima diri apa adanya sehingga remaja tidak mengembangkan identitas “virtual” yang berbeda dengan diri yang asli.
Dalam kebudayaan timur, masih banyak orangtua yang menganggap anak adalah milik orangtua, padahal sebenarnya anak bukan kepanjangan tangan orangtua. Ia berhak memiliki kehidupannya sendiri, menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tentu saja peran orangtua sangat besar sebagai pembimbing, bersama guru yang secara formal mengasuh anak di sekolah. Dalam usia remaja, kemampuan penentuan diri inilah yang semestinya dilatih. Remaja seperti juga semua manusia lainnya – belajar dari kesalahan. Bagi para orangtua dan guru ada baiknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
• Mulailah menganggap anak remaja sebagai teman dan akuilah ia sebagai orang yang akan berangkat dewasa. Seringkali orang yang lebih tua tetap memperlakukan anak remaja mereka seperti anak kecil, meskipun mereka sudah berusaha menunjukkan bahwa keberadaan mereka sebagai calon orang dewasa.
• Hargai perbedaan pendapat dan ajaklah berdiskusi secara terbuka. Nasihat yang berbentuk teguran atau yang berkesan menggurui akan tidak seefektif forum diskusi terbuka. Tidak ada yang lebih dihargai oleh para remaja selain sosok yang bijak yang bisa dijadikan teman.
• Tetaplah tegas pada nilai yang anda anut walaupun anak remaja anda mungkin memiliki pendapat dan nilai yang berbeda. Biarkan nilai anda menjadi jangkar yang kokoh di mana anak remaja anda bisa berpegang kembali setelah mereka lelah membedakan dan mempertanyakan alternatif nilai yang lain. Larangan yang kaku mungkin malah akan menyebabkan sikap pemberontakan dalam diri anak anda.
• Jangan malu atau takut berbagi masa remaja anda sendiri. Biarkan mereka mendengar dan belajar apa yang mendasari perkembangan diri anda dari pengalaman anda.
• Mengertilah bahwa masa remaja adalah masa yang sulit. Perubahan mood sering terjadi dalam durasi waktu yang pendek, jadi anda tidak perlu panik jika anak remaja anda yang biasanya riang tiba-tiba bisa murung dan menangis lalu tak lama kemudian kembali riang tanpa sebab yang jelas.
• Jangan terkejut jika anak remaja anda bereksperimen dengan banyak hal, misalnya mencat rambutnya menjadi biru atau ungu, memakai pakaian serba sobek, atau tiba-tiba ber bungee-jumping ria. Selama hal-hal itu tidak membahayakan, mereka layak mencoba masuk ke dalam dunia yang berbeda dengan dunia mereka saat ini. Berikanlah ruang pada mereka untuk mencoba berbagai peran yang cocok bagi masa depan mereka. Ada remaja yang menurut tanpa membantah keinginan orang yang lebih tua dalam menentukan peran mereka, misalnya jika kakek sudah dokter, ayah dokter, kelak iapun “diharapkan dan disiapkan” untuk menjadi dokter pula. Namun ada juga anak remaja yang memang tidak ingin masuk ke dalam dunia yang sama dengan orang-orang di sekitarnya mereka.
• Kenali teman-teman anak remaja anda. Bertemanlah dengan mereka jika itu memungkinkan. Namun waspadalah jika anak anda sangat tertutup dengan dunia remajanya. Mungkin ia tidak / kurang mempercayai anda atau ada yang disembunyikannya.


BAB XIII
MOTIVASI DALAM PENGEMBANGAN SISWA
13.1 Motivasi
            Motivasi adalah dorongan psikologis yang mengarahkan seseorang ke arah suatu tujuan. Motivasi dapat membuat keadaan dalam diri individu muncul, terarah, dan mampu mempertahankan perilaku. Menurut seorang profesor di Universitas Wesleyan, David Clarence McClelland (1917-1998), di dalam bukunya yang berjudul ‘The Achieving Society‘, dia mengemukakan bahwa setiap individu mempunyai cadangan energi potensial. Bagaimana energi tersebut dilepaskan dan dikembangkan tergantung pada kekuatan atau dorongan motivasi individu dan situasi serta peluang yang tersedia.
Peran guru yang penting dalam mendorong pembelajaran siswa adalah meningkatkan keinginan siswa atau motivasi untuk belajar. Untuk melakukan tugas ini, guru perlu memahami siswa dengan baik agar nantinya guru mampu menyediakan pengalaman-pengalaman pembelajaran, yang darinya siswa akan menemukan sesuatu yang menarik, bernilai, dan secara instrinsik memotivasi, menantang, dan berguna bagi mereka (Kellough, 2000). Semakin baik guru memahami minat-minat siswa, dan menilai tingkat-tingkat keterampilan siswa, maka semakin efektif menjangkau dan mengajari mereka. Untuk memperoleh informasi, beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada mereka adalah sebagai berikut (McCarty & Siccone, 2001):
  • Menurut anda hal-hal apa saja yang harus diketahui oleh orang “dewasa cerdas” ?
  • Apa minat, hobi, dan cara-cara favorit yang anda gunakan untuk menghabiskan waktu anda?
  • Skill, bakat, aktivitas, atau sesuatu apa yang membuat anda menikmatinya?
  • Apa yang sangat tidak anda sukai?
  • Apa yang paling anda takuti?
Orang tua dan guru mendorong motivasi siswa dengan berbagai cara. Contoh, sebagian besar orang tua memperkuat dan menghadiahi anak anak mereka dengan mengatakan kata-kata seperti “silakan/tolong” dan “terima kasih.” Hal ini dapat diterapkan secara efektif melalui modeling apabila orang tua menggunakan istilah-istilah ini dan secara personal mengilustrasikan daya tarik perilaku-perilaku sosial tersebut pada anak-anak mereka. Motivasi awal pada anak-anak dalam proses ini mungkin melibatkan konsep tentang nilai instrinsik. Ketika menggunakan “silakan/tolong” dan “terima kasih,” anak-anak mendapatkan apa yang mereka inginkan sekaligus berusaha menyenangkan orang tua mereka dengan proses ini pula. Namun, orang tua bukan berarti langsung mengajarkan proses tersebut pada anak-anak mereka; mereka hanya menfasilitas kemampuan anak-anak untuk menggali nilai ekstrinsik dengan menggunakan istilah-istilah ini dalam percakapan sehari-hari mereka. Meski demikian, beberapa pendidik kurang nyaman dengan aplikasi faktor-faktor motivasional yang didasarkan penghargaan - penghargaan instrinsik semacam ini karena menyenangkan orang lain dan menerima reward hanya akan menghasilkan keuntungan pembelajaran jangka pendek. Hanya saja, para pendidik ini mungkin masih menggunakan aplikasi penghargaan - penghargaan ekstrinsik, namun kemudian mereka membantu siswa untuk membuat perubahan dari penghargaan - penghargaan tersebut. Hal ini berarti bahwa siswa melakukan perubahan dari kebutuhan ekstrinsik untuk menyenangkan orang lain dan berpartisipasi agar memperoleh penghargaan menuju kebutuhan instrinsik untuk memperoleh pengetahuan atau memuaskan minat mereka. Sealin menawarkan reward untuk perilaku yang baik dan bagus, para guru seharusnya menekankan nilai atas aktivitas pembelajaran tertentu dan mendesain aktivitas ini dengan cara - cara yang membuat semua siswa yakin bahwa mereka akan sukses (Parsons & Brown, 2002). Adakalanya, anda mungkin pernah mendengar seorang guru yang berkata, “ada anak -anak yang tidak dapat dimotivasi.” Sebenarnya para siswa tidak pernah tidak termotivasi, hanya saja mereka mungkin tidak tertarik dengan apa yang diajarkan guru. Berhubungan dengan “anak-anak yang tidak termotivasi” ini, tantangan guru adalah membantu siswa memahami relevansi atau aplikasi praktis dari tugas pembelajaran yang diberikan. Selain itu yang tak kalah penting adalah bahwa tugas yang diberikan harus sesuai dengan kapabilitas mereka. Jika tugas tersebut terlalu sulit atau terlalu mudah, mereka mungkin menghindarinya karena mereka bisa saja dibuat pusing atau justru bosan (Pintrich & Schunk, 2002; Stipek, 2002). Siswa sering kali meneruskan pekerjaan mereka pada tugas - tugas yang diberikan jika mereka mengalami perasaan pencapaian dan kepuasan yang benar - benar nyata. Keinginan untuk menghadapi, mengeksplorasi, dan mengatasi tantangan - tantangan, baik itu tantangan intelektual ataupun tantangan fisik, merupakan inti dari motivasi instrinsik dalam kelas yang harus digalakkan oleh guru. Siswa yang termotivasi karena keharusan untuk memahami dan menguasai suatu tugas (orientasi penguasaan/kemahiran) menunjukkan perilaku - perilaku dan pemikiran yang lebih positif daripada siswa yang mengerjakan sesuatu untuk hasil tertentu (orientasi performa) (McMillan, 2004). Salah satu dari peran terpenting guru adalah meyakinkan pada siswa bahwa kita terlibat bersama mereka di setiap tantangan dan berada “dalam sudut mereka” di setiap saat. Hal ini tentu saja membutuhkan strategi - strategi organisasional dan personal yang fokus pada nilai dan kekuatan motivasi instrinsik dan dampak positipnya pada prestasi akademik siswa. Sulit bagi siswa untuk berhasil jika mereka kekurangan motivasi untuk tetap fokus pada tugas-tugas yang menentang. Para guru perlu mempertimbangkan faktor – faktor berikut ini untuk mendorong siswa fokus pada hasil pembelajaran yang diinginkan (Guillaume, 2004):
  • Mempertemukan kebutuhan-kebutuhan dan minat-minat.
  • Memusatkan tingkat-tingkat perhatian.
  • Menfasilitasi tanggapan atau kesadaran terhadap usaha - usaha yang masuk akal.
  • Memusatkan kemungkinan akan kesuksesan.
  • Menyediakan pengetahuan langsung atas hasil yang diperoleh.
Semakin banyak prestasi, atau kesuksesan, yang siswa alami, semakin besar kesempatan siswa mempertinggi harapan - harapan mereka dan semakin bertambah motivasi yang mereka dapatkan untuk mempertahankan dan mengupayakan tugas - tugas lain. Penelitian menunjukkan bahwa motivasi merupakan variabel yang kuat dalam proses pembelajaran, bahkan boleh jadi merupakan variabel yang lebih penting daripada kemampuan (Pintrich & Shunk, 2002). Meskipun keterlibatan merupakan komponen penting dalam memotivasi atau menarik siswa, strategi - strategi organisasional guru seharusnya juga fokus pada dukungan struktur dan otonomi. Dengan menciptakan struktur-struktur organisasional ruang kelas yang dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan mencukupi kebutuhan kompetensi mereka. Selain strategi-strategi organisasional, interaksi-interaksi guru dengan siswa merupakan factor motivasional yang juga penting. Strategi - strategi pembelajaran personal untuk meningkatkan motivasi memerlukan sikap tulus, positip, semangat, dan suportif dari seorang guru. Selain itu, salah satu dari cara paling ampuh dalam mengkomunikasikan minat kita sebagai guru adalah dengan mendengarkan apa yang siswa katakan dan membiarkan mereka mengetahui bahwa kita menghargai pemikiran - pemikiran dan kontribusi - kontribusi mereka pada kelas. Pada akhirnya, humor dapat menjadi perangkat yang mutlak dilakukan untuk mendorong hubungan positip antara guru dan siswa.

13.3 Pengembangan Aktivitas, Kreativitas dan Motivasi Siswa

Dengan mengutip pemikiran Gibbs, E. Mulyasa (2003) mengemukakan hal-hal yang perlu dilakukan agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajarnya, adalah:
1.       Dikembangkannya rasa percaya diri para siswa dan mengurangi rasa takut;
2.      Memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas terarah;
3.      Melibatkan siswa dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya;
4.      Memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter;
5.      Melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan.
Sementara itu, Widada (1994) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa, guru dapat menggunakan pendekatan sebagai berikut :
1.       Self esteem approach; guru memperhatikan pengembangan self esteem (kesadaran akan harga diri) siswa.
2.      Creative approach; guru mengembangkan problem solving, brain storming, inquiry, dan role playing.
3.      Value clarification and moral development approach; guru mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan holistik dan humanistik untuk mengembangkan segenap potensi siswa menuju tercapainya self actualization, dalam situasi ini pengembangan intelektual siswa akan mengiringi pengembangan seluruh aspek kepribadian siswa, termasuk dalam hal etik dan moral.
4.      Multiple talent approach; guru mengupayakan pengembangan seluruh potensi siswa untuk membangun self concept yang menunjang kesehatan mental.
5.      Inquiry approach; guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan proses mental dalam menemukan konsep atau prinsip ilmiah serta meningkatkan potensi intelektualnya.
6.      Pictorial riddle approach; guru mengembangkan metode untuk mengembangkan motivasi dan minat siswa dalam diskusi kelompok kecil guna membantu meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan kreatif.
7.      Synetics approach; guru lebih memusatkan perhatian pada kompetensi siswa untuk mengembangkan berbagai bentuk metaphor untuk membuka inteligensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Kegiatan pembelajaran dimulai dengan kegiatan yang tidak rasional, kemudian berkembang menuju penemuan dan pemecahan masalah secara rasional.
Sedangkan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa, menurut E. Mulyasa (2003) perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.       Bahwa siswa akan belajar lebih giat apabila topik yang dipelajarinya menarik dan berguna bagi dirinya;
2.      Tujuan pembelajaran harus disusun dengan jelas dan diinformasikan kepada siswa sehingga mereka mengetahui tujuan belajar yang hendak dicapai. Siswa juga dilibatkan dalam penyusunan tersebut;
3.      Siswa harus selalu diberitahu tentang hasil belajarnya;
4.      Pemberian pujian dan hadiah lebih baik daripada hukuman, namun sewaktu-waktu hukuman juga diperlukan;
5.      Manfaatkan sikap-sikap, cita-cita dan rasa ingin tahu siswa;
6.      Usahakan untuk memperhatikan perbedaan individual siswa, seperti : perbedaan kemampuan, latar belakang dan sikap terhadap sekolah atau subyek tertentu;
7.      Usahakan untuk memenuhi kebutuhan siswa dengan jalan memperhatikan kondisi fisiknya, rasa aman, menunjukkan bahwa guru peduli terhadap mereka, mengatur pengalaman belajar sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh kepuasan dan penghargaan, serta mengarahkan pengalaman belajar kearah keberhasilan, sehingga mencapai prestasi dan mempunyai kepercayaan diri.







DAFTAR RUJUKAN

Alwisol. 2008. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press
Ardhana, Wayan , 1986, Keefektifan Pendidikan Moral Berdasarkan Beberapa Bukti Empiri,
Hariyadi, Sugeng dkk. (1998). Perkembangan peserta didik. Cetakan ke 3. Semarang: IKIP Semarang Press.
http://www.scribd.com/doc/39801272/Pengertian-individu
http://www.scribd.com/doc/61531008/28/Aspek-Aspek-Perkembangan-Individu
Irwanto, dkk. 1989.psikologi umum.Jakarta:PT. Gramedia.

Putra, Rayi Dwiky. 2010. Pengertian Individu, Keluarga dan Masyarakat (http://keripiku.blogspot.com/2010/11/pengertian-individu-keluarga-dan.html, (Online), diakses pada ‎tanggal 19 ‎Agustus ‎2011, ‏‎22:14:04 WIB)

Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia
Subyantoro, Arief. 2009. Karakteristik Individu, Karakteristik Pekerjaan, Karakteristik Organisasi dan Kepuasan Kerja Pengurus yang Dimediasi oleh Motivasi Kerja (Studi pada Pengurus KUD di Kabupaten Sleman). Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 11, No. 1, Maret 2009: 11-19
Sunarto & Hartono, B. Agung. (1995). Perkembangan peserta didik. Jakarta: Rineka Cipta Wahjosumidjo.

Sunarto, H.dkk. 1995. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: B3PTKSM

Willis, Sofyan S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta



 



[1] Konvensional: remaja mudah terbawa arus dan belum menemukan prinsip moral sendiri.

Read Users' Comments (0)

0 Response to "PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK"

Post a Comment